Review Funiculi Funicula: Mau time travel doang ribetnya setengah mati!
Konnichiwa minna-san! Belakangan ini di twitter banyak banget cuitan soal buku yang bakalan gue review ini. Sebagai orang yang FOMO sama novel viral, gue nggak mau ketinggalan tren sampai pada akhirnya mutusin buat ngebaca tuh buku. Cuma butuh dua alasan sederhana buat bikin buku ini kelihatan begitu memikat bagi gue. Pertama soal tema time travel yang ditawarkan dalam ceritanya dan kedua soal sampulnya yang keren bangettt woyyyyy. Gaya ala anime dengan tone warna hangat dan detilnya nggak kaleng-kaleng. Bahkan sampul versi terjemahan ini menurut gue lebih ramai dan menarik perhatian ketimbang versi aslinya.
Judul lengkapnya Funiculi Funicula "Before The Coffee Gets Cold". Novel yang ditulis oleh Toshikazu Kawaguchi ini punya genre drama slice of life dengan balutan fiksi. Ada sebanyak 223 halaman di dalamnya yang siap dinikmati. Funiculi Funicula sendiri dalam novel ini adalah nama dari sebuah kafe tua bawah tanah yang lokasinya ada di suatu gang kecil di Tokyo. Kafe yang nggak terlalu luas dan punya nuansa sepia itu jadi terkenal di masyarakat karena keajaibannya. Para konsumen yang datang ke sana bisa ngelakuin time travel. Awalnya gue kira tema penjelajahan waktu bakalan bikin kepala pusing. Soalnya kan tema kayak gini biasanya punya cerita yang rumit dan detil petunjuk yang harus diperhatiin banget biar nggak ke-skip. Ternyata eh ternyata diri ini salah.
Cerita di novel ini lebih gampang dipahami. Nggak banyak perpindahan timeline yang bikin mumet pikiran dan ritual buat pergi melintasi waktunya pakai kopi bukan mesin berteknologi tinggi jadinya nggak susah buat dicerna. Nama para karakter di dalamnya pun relatif nggak ribet buat diingat. Pas awal baca mungkin agak kagok sama nama-namanya yang emang nggak umum buat orang Indonesia. Tapi lama-kelamaan bakal hafal juga. Buat orang yang udah sering baca novel Jepang atau nonton anime sama dorama sih bakal lebih cepat hafal harusnya. Alih-alih dibikin ribet sama garis waktu yang acak-acakan, pembaca dan para tokoh dibikin ribet sama banyaknya peraturan yang harus ditaati supaya bisa time travel.
Bayangin aja, buat pergi melintasi waktu seseorang harus duduk di satu kursi khusus di kafe itu. Masalahnya kursi itu nggak bisa dipakai kapan aja soalnya ada penunggu yang juga duduk di sana. Jadi mau nggak mau harus nunggu sampai si penunggu pergi dari kursinya. Masalahnya lagi, nggak ada patokan waktu pasti kapan dia bakal pergi. Gimana, udah cukup ribet? Ini belum seberapa. Seseorang juga harus mastiin bahwa orang yang ingin dia temuin di masa lalu atau masa depan pernah datang ke kafe itu juga. Kalo nggak pernah masuk, nggak bakal bisa ketemu. Bakalan sia-sia deh. Misalnya berhasil time travel pun, seseorang nggak boleh beranjak dari kursi itu. Bakal langsung balik ke masa sekarang lagi kalo coba melanggar. Jadi boro-boro bisa pergi sesukanya ke tempat yang dipingin.
Seseorang yang berhasil juga harus ngabisin kopi yang ada di atas meja sebelum dingin, sesuai judul di buku ini. Kalo sampai telat bakal ada konsekuensi besar berupa kutukan. Bisa dibilang, waktu buat menjelajah garis waktu cuma dari pas kopi dituangin sampai sebelum kopi jadi dingin. Sebentar banget anjirrrr. Palingan sepuluh sampai dua puluh menit doang. Peraturan ini paling nyebelin buat gue. Udah usaha susah payah buat taatin aturan-aturan yang ada, eh waktu yang dikasih cuma seuprit. Kan setan. Pada akhirnya sih peraturan ini yang bikin alurnya jadi seru. Melihat gimana para tokoh manfaatin waktu yang terbatas buat bilang sesuatu ke orang yang pingin ditemuin di masa lalu atau masa depan. Tapi tetep aja nyebelin. Peraturan terakhir yang ngebedain Funiculi Funicula sama novel atau film time travel kebanyakan yaitu apapun yang dilakuin di masa yang didatengin nggak akan ngubah realita di masa sekarang. Biar gue kasih contoh. Misalnya kenyataan di masa sekarang sahabat kita udah wafat karena dibunuh di rumahnya. Terus kita pergi ke masa lalu dan berhasil mencegah pembunuhan itu. Pas kita balik ke masa depan, sahabat kita bakal tetep mati dengan sebab lain. Entah gara-gara kecelakaan lalu lintas, penyakit kronis, bunuh diri karena depresi, atau kemungkinan lain. Intinya, takdir dia harus wafat nggak bisa dilawan. Kalo perjalanan waktu nggak bisa ngubah apapun di masa sekarang, apa masih worth it buat dilakuin? Nah, buat ngejawab soalan itu kalian perlu membaca habis buku ini.
Oh iya, novel ini terdiri dari empat cerita. Seorang wanita bernama Fumiko yang pingin balik ke masa lalu buat minta pacarnya supaya nggak pergi ke Amerika, seorang perawat yang pingin baca surat yang nggak sempet dikasih suaminya beberapa tahun lalu, seorang kakak yang pingin ketemu adiknya buat terakhir kalinya dalam rangka minta maaf, dan seorang ibu yang pingin ketemu anak gadisnya juga dalam rangka minta maaf. Gue nggak mau bahas ceritanya lebih banyak soalnya takut malah spoiler. Pokoknya menurut gue pribadi dua cerita pertama biasa aja. Cerita ketiga bagus sekaligus berkesan. Cerita terakhir bagus tapi cenderung gak berkesan.
Yang disuka dari buku ini:
• Empat cerita di sini punya topik bahasan yang semuanya berat sesuai porsinya masing-masing. Tapi cara pengemasannya ringan banget. Meskipun punya tema time travel, pemilihan kata sama cara menyusun kalimat yang dipakai umum dan nggak teknis banget. Perpindahan timeline-nya pun ditandain sama kalimat yang jelas jadi nggak bikin bingung. Ditambah sama selipan backstory tiap tokoh yang masuk dengan cara smooth jadinya nggak ganggu alur cerita utama bikin makin nyaman pas baca. Shout out juga buat Dania Sakti yang udah nerjemahin novel ini sebaik mungkin.
• Para tokoh masing-masing punya karakter yang kuat dan konsisten. Fumiko yang semangat tapi impulsif. Yaeko Hirai yang cuek, supel, dan berjiwa bebas. Kotake yang setia dan penyabar. Fusagi yang kayak orang linglung. Kazu yang dingin dan introvert. Kei yang polos dan selalu ceria. Nagare yang lembut tapi serius. Dan banyak lagi. Gue kagum sama penggambaran penokohan di sini. Nggak cuma ngandelin narator tapi berusaha nunjukkin ciri khas tiap tokoh lewat dialog, pakaian, dan tingkah laku.
• Di bagian akhir novel ini ada tanda-tanda yang bisa jadi gambaran kafe Funiculi Funicula di masa depan. Begitu beres baca bagian akhir, gue langsung bertanya-tanya kayak, "Kok si A ada di kafe itu lagi? Kok si B yang seharusnya ada di sana malah nggak ada?" Novel ini tuh ending ceritanya nggak gantung, tapi para tokoh yang nggak sesuai tempatnya malah bikin suasananya yang gantung. Tapi justru bagus sih, gue jadi penasaran sama novel lanjutannya.
Yang nggak disuka dari buku ini:
• Kalimat atau bahkan paragraf repetitif yang ada di setiap bagian cerita. Tulisan repetitif yang cukup gue notice ada soal peraturan-peraturan sama gambaran suasana kondisi kafe. Kita pasti bosen sekaligus sebel pas baca paragraf yang diulang terus-terusan. Licereli yang pingin disampaikan tuh bener-bener sama dan cara menyampikannya pun hampir persis. Jatohnya kan boros kata sama boros kertas pula. Kalo sekali dua kali sih gapapa, tapi kalo tiga kali empat dua belas.
• Karena hampir semua latar tempat di novel ini ada di dalam kafe, suasana jepangnya rada kureng gitu. Ekspektasi gue tuh banyak unsur jejepangan kayak tempat khas yang ikonik, tradisi, sama prinsip dan pola pikir. Tapi sayangnya cuma ada unsur gestur membungkuk sama festival Tanabata. Nggak bisa dibilang sebagai kekurangan sih, tapi menurut gue bikin daya tariknya turun dikit.
Novel ini cocok buat kalian yang suka sama cerita dengan topik bahasan cukup berat tapi dikemasnya ringan. Makna dalam tiap ceritanya dalam banget dan bisa dijadiin pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Paling pas baca buku ini di coffeeshop dengan segelas atau secangkir kopi kesukaan kalian di atas meja. Biarkan buku ini ngebawa kalian melintasi berbagai garis waktu. Tapi inget, abisin kopinya sebelum dingin. ^^
Komentar
Posting Komentar