Sebuah Peristiwa Biasa Saja Menjelang Jam Makan Siang (DRAFT)
***
Pusat tata surya sedang dalam perjalanan menanjak agar bisa bertengger di puncak tertinggi. Tak terlalu banyak kendaraan yang lalu-lalang di jalanan itu. Dari tepi jalan tepatnya dari sebuah halte terlihat seorang bocah laki-laki mengenakan seragam sekolah serba putih dan ransel merah bergambar power rangers. Yusuf—akrab dikenal dengan Ucup—berlagak seperti orang ling-lung, tangan kirinya dia gunakan untuk garuk-garuk kepala.
Hari ini adalah hari pertama Ucup duduk di bangku sekolah dasar. Bisa dibilang nasib Ucup sedikit kurang beruntung sebab mendapat lokasi sekolah yang relatif jauh dari tempatnya tinggal bersama sang mama. Sebagai gambaran, dia harus menaiki tiga mobil angkutan yang berbeda dan menempuh jarak lebih dari lima belas kilometer dari rumah ke sekolah atau sebaliknya. Sebuah jarak yang jauh mengingat hampir semua kawannya di taman kanak-kanak mendapat sekolah yang dekat dengan rumah masing-masing.
Saat masa pendaftaran berlangsung, Ucup ditemani mamanya pergi mendaftar ke sekolah negeri. Tak tanggung-tanggung, dia mendaftar ke lima sekolah berbeda yang semua lokasinya masih mudah dijangkau. Dia mengikuti serangkaian tes di tiap-tiap sekolah yang didaftarnya, mulai dari tes membaca dan menulis, mengetahui warna dan bentuk, berhitung sederhana, sampai melempar bola kecil ke dalam keranjang dari jarak satu meter. Sebenarnya cukup baik Ucup dalam melakukan berbagai tes tersebut, walau tak sempurna. Namun sayang tak ada satupun yang tembus. Beberapa sekolah urung menyebutkan alasan, sisanya mengatakan bahwa usia Ucup masih belum cukup. Tentu mama Ucup tak mau memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah swasta yang ada di sekitar daerah rumah sewa mereka. Alasan utamanya karena biaya pendidikan setinggi langit, tentunya tak dapat dijangkau oleh mama Ucup yang hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga pulang hari.
Suatu hari ketika mama Ucup berbelanja di pasar, dia mendapat informasi dari penjual sayur langganan bahwa terdapat satu sekolah dasar negeri yang ramah terhadap calon siswa dengan umur sangat muda. Sekolah yang dimaksud merupakan sekolah tempat anak penjual sayur itu mengeyam pendidikan, begitu juga dengan Ucup kini.
Mari kita kembali kepada Ucup yang masih terlihat ling-lung dan masih garuk-garuk kepala. Saat ini, dia telah menyelesaikan perjalanan menumpang mobil angkutan pertama dan sedang menunggu untuk berpindah menaiki angkutan kedua. Masalahnya, dia terlupa nomor seri mobil angkutan yang harus ditumpangi selanjutnya. Padahal dia bersama sang mama telah menaiki ketiga mobil angkutan yang sama ketika hendak berangkat, dan dirinya cukup yakin bahwa telah hafal seluruhnya. Tapi yang terjadi tak demikian, dua nomor seri mobil angkutan tidak bisa muncul di kepalanya sama sekali. Semakin dia mencoba untuk mengingat, maka nomor itu terasa makin jauh meninggalkan pikirannya. Alih-alih teringat nomor seri mobil angkutan, ingatan yang bermunulan justru merupakan memori semasa di sekolah pagi tadi, seperti teman sebangkunya bernama Saiful, sepasang perempuan yang duduk di depannya bernama Azizah dan Juliana, Saiful begitu minat sepak bola, enam ditambah tujuh hasilnya tiga belas, serta warna hijau dalam bahasa inggris ditulis dengan awalan huruf G diikuti secara berurutan oleh huruf R, dua huruf E, lalu diakhiri huruf N.
Ucup coba mencari jalan keluar dengan berjalan menuju hadapan papan informasi trayek yang berada di sebelah halte. Agar dapat membaca tulisan di papan yang memiliki tinggi tiga sampai empat kali tubuhnya, Ucup dipaksa mendongakkan kepala. Dilihat olehnya delapan nomor seri untuk mobil angkutan beserta trayeknya. Sialnya, tidak ada satupun dari nomor maupun trayek yang dia ketahui atau setidaknya memulihkan ingatannya. Selain papan informasi trayek, tidak ada lagi yang bisa memberikan informasi mengingat kondisi halte saat ini begitu sunyi. Tidak ada manusia lain di sana yang bisa Ucup tanyai. Sementara untuk mahkluk lain, terdapat seekor kucing berbulu putih dan coklat muda yang sedang duduk santai di bangku melingkar. Merasa putus asa, Ucup menghampiri kucing itu lalu duduk di sebelahnya.
“Cing, kamu tahu gak angkot yang perginya ke rumah aku? Rumah aku di jalan mawar,” ujar Ucup membuka pembicaraan.
Kucing menjawab dengan mengeong, yang diyakini oleh Ucup bahwa jawaban terebut bermakna tidak tahu. Tidak ada percakapan lagi di antara mereka berdua. Selain karena Ucup sudah tidak mau mengobrol lagi dengan kucing itu, bocah laki-laki itu melihat mobil angkutan mendekat. Dia segera beranjak untuk berdiri di trotoar yang mendekat ke jalanan, mengangkat tangan kanan setinggi mungkin lalu digerakkan ke kiri lalu kanan lalu kiri lagi lalu kanan lagi. Begitu mobil angkutan mengerem sempurna lantas Ucup menanyakan soalan kepada supir.
“Bang, ini lewat halte tempat aku nyambung angkot lagi apa nggak?”
“Emang kamu mau turun di halte mana?”
Ucup berpikir sejenak sampai akhirnya tersadar bahwa dia juga lupa nama halte tempat menyambung mobil angkutan ketiga.
“Pokoknya rumah aku di jalan mawar.”
“Jalan mawar? Nggak lewat, Dek.”
“Oh, Ya udah, Bang. Makasih.”
Mobil angkutan itu kembali melanjutkan perjalanan. Sementara Ucup yang tampak lesu kembali duduk di samping kucing berbulu putih dan coklat muda.
Setelah sekian menit menunggu, muncul mobil angkutan lain dengan stiker pada kaca depan menampilkan nomor seri dan trayek yang berbeda dengan angkutan sebelumnya. Ucup membuka pembicaraan kepada supir angkutan kali ini menggunakan kalimat soalan yang tiap katanya sama persis seperti disampaikan pada supir angkutan sebelumnya. Selain pertanyaan, jawaban yang diberikan pun sama, hanya saja bentuk kalimatnya berbeda. Sempat juga muncul sepasang laki-laki dan perempuan dewasa muda berjalan melintasi halte. Sebelum mereka berlalu dan menghilang dari pandangan, Ucup mengambil kesempatan untuk bertanya lagi-lagi hal yang kurang lebih sama yaitu angkot nomor berapa saja yang harus dia tumpangi agar sampai ke jalan mawar.
“Waduh, nggak tahu tuh, Dek. Kita bukan orang sini,” jawab si laki-laki.
---
“Ucup?”
tanya seorang wanita paruh baya memastikan.
Suara itu terasa familier di telinga Ucup. Acapkali terdengar olehnya pada beberapa kesempatan. Dia mulai melepaskan lengan dari wajah, lebih tepatnya area sekitar mata. Selepas mengucek mata menggunakan punggung tangan, dia mulai melihat ke arah wanita yang memanggil namanya. Terdapat dua wanita di hadapannya. Dia hanya mengenal salah satunya, wanita itulah yang menegurnya baru saja. Dia meraih tangan wanita itu lalu bersalaman dengan cara mencium tangan. Hal yang sama juga dia lakukan kepada wanita lain di sebelahnya. Kedua wanita itu terkejut melihat mata Ucup yang sembab dan belum kering sempurna.
“Kamu kenapa nangis, Cup?” tanya wanita yang menegurnya.
“Aku,
u, nya, sa, sar, Bu RT,” jawab Ucup sembari sesenggukan, “Ma, u, pu, pulang,
tapi, nggak ta, tahu, naik angkot nomor, be, berapa.”
“Ya ampun.”
“Orang daerah rumah lo, Ris?” tanya seorang wanita lagi, wanita yang menenteng tas plastik ukuran sedang berisi banyak potongan kain, wanita yang tidak Ucup kenali.
“Iya,
anak tetangga.”
Ketiganya
diam sejenak, hanya beberapa saat. Ucup kembali mengucek sepasang mata, membuatnya
menjadi lebih kering dari sebelumnya.
“Kamu
naik angkot nomor kosong dua dulu, Cup. Turun di halte jalan bhakti. Dari situ
nyambung angkot nomor empat belas,” lanjut Bu RT.
Dua
kalimat itu menjadikan ingatan Ucup tercerahkan. Sekarang dia menjadi ingat
angkot nomor berapa saja yang harus ditumpangi dan di halte mana harus transit.
“I,
iya, Bu. Aku, lu, lupa.”
“Ya
udah kamu bareng ibu aja naik angkotnya, ibu juga mau pulang. Udah, gak perlu nangis lagi”
Hati dan pikiran Ucup sekarang tenang, sangat tenang.
Komentar
Posting Komentar