Detik-detik

 


            Aku berdiri di tengah tanah lapang dengan matahari nangkring tepat di atas kepala. Luas tanah ini mungkin bisa membuat satu lapangan sepak bola dengan puluhan ribu kursi untuk para suporter lengkap dengan tempat parkir yang luas untuk memarkir kuda beroda milik para pendu-kung klub kesayangan mereka. Di sini aku tidak sendirian, satu kawanku berdiri kira-kira dua meter di sebelahku. Aku dan satu kawanku. Aku dan hanya satu-satunya kawanku. Jika saja aku bercerita lebih awal, beberapa hari silam misalnya, aku tidak akan mengatakan dua kalimat ter-akhir sebelum kalimat ini. Beberapa hari silam ratusan kawanku hidup nyaman dan damai di sini. Beberapa hari silam juga terjadi pembantaian besar-besaran oleh orang-orang tak dikenal kepada para kolegaku yang terjadi selama beberapa hari sampai terakhir satu hari yang lalu. Dengan amat sangat aku berharap kejadian pembantaian ini menjadi berita utama di halaman pertama koran hari ini agar satu dunia tahu betapa kejinya mereka. Entah apa motif pembunuhan itu, tapi yang pasti, aku dan satu kawanku selamat sampai saat ini.

            Sebuah tiang yang puncaknya terdapat reklame besar berdiri mantap di ujung tanah lapang. Papan besar itu berisi gambar gedung tinggi yang sedang berbaris serta terdapat tulisan yang tidak bisa kubaca karena memang aku tidak bisa membaca, tidak pernah belajar membaca, apalagi mengenyam bangku sekolah. Perhatianku teralihkan dari semula memperhatikan tulisan di reklame yang tidak bisa kubaca, kini menjadi memperhatikan mobil hitam di ujung tanah lapang sedang bergerak menuju ke arahku. Tidak kalah menarik perhatian, mobil yang ukurannya lebih besar dari mobil hitam bergerak di belakangnya dan mengarah ke arah sama. Delapan ban mulai melintasi permukaan tanah dan saking cepatnya ban-ban itu bergulir, butiran-butiran tanah yang dilindas terusir dari tempatnya, terangkat, lalu terbang dan menimbulkan efek seperti asap.   Prediksiku bahwa kedua kuda beroda itu akan menabrakku dan satu kawanku sampai akhirnya kami tewas mengenaskan di tempat ternyata salah. Mereka berhenti beberapa puluh meter dari tempatku berdiri.

            Empat pasang kaki turun dari mobil hitam. Tiga orang pria dan satu wanita berambut sebahu. Mereka terlihat asing bagiku, bukan mereka yang membunuh para kolegaku. Aku belum pernah melihat mereka sama sekali dan pastinya tidak tahu apa motif mereka datang ke tempat ini. Mereka semua berpakaian rapih dengan kemeja putih dibalut dengan blazer dengan warna sama dengan warna mobil yang baru saja mereka tumpangi. Celana panjang untuk para pria dan rok span selutut untuk si wanita, serta tidak lupa sepatu yang licin dan mengkilap membuat tampilan formal mereka sempurna. Di kepala mereka terdapat mahkota berupa topi berwarna putih untuk salah satu pria dan sisanya memakai yang berwarna kuning. Mereka mulai menggerakkan kaki-kaki mereka, melangkah ke arah barat daya. Berbeda dengan tiga orang lainnya yang berjalan dengan tangan kosong, si wanita di tangannya menenteng sebuah map berwarna biru. Setelah beberapa puluh langkah dari mobil, si wanita membuka map biru yang entah isinya apa. Mungkin struk daftar belanja mereka saat melipir ke minimarket pagi tadi. Mungkin juga klasemen liga inggris pekan ini. Mungkin juga cerita pendek atau puisi romantis dari penulis terkenal. Atau mungkin potongan berita utama di halaman pertama koran hari ini yang membahas pembantaian kepada para kolegaku. Tidak tahu pasti, tapi aku berharap dugaanku terakhirlah yang benar-benar ada di dalam map biru.

            Gedung-gedung menjulang tinggi di sebelah barat, timur, dan selatan. Sedangkan di sebelah utara terdapat jalan besar yang setiap harinya kendaraan berlalu-lalang di sana. Sementara si wanita membuka dan memegangi map biru agar tidak jatuh, kedua pria bertopi kuning secara bergantian berbicara, sepertinya menerangkan sesuatu kepada pria bertopi putih. Salah satu pria bertopi kuning menunjuk map biru yang terbuka untuk selanjutnya dia menunjuk ke tanah lapang di bagian barat daya. Pria bertopi putih sesekali mengangguk mendengar penjelasan yang dia dapatkan, seakan seperti seorang siswa kelas satu SD yang baru mengerti bahwa satu tambah satu sama dengan dua setelah dijelaskan oleh gurunya. Aku sama sekali tidak bisa mendengar pembicaraan mereka, entah karena jarak mereka yang terlalu jauh denganku atau suara mereka terlalu kecil seperti halnya orang yang berbicara saat sedang berada di tengah peperangan, suaranya kecil karena tidak ingin diketahui keberadaannya oleh pihak musuh.

            Pintu mobil yang lebih besar dari mobil hitam mulai terbuka. Empat pasang kaki lagi-lagi turun, sekali lagi berhasil mengalihkan perhatianku. Kini aku sudah tidak tertarik lagi dengan apa yang empat orang berpakaian formal itu bincangkan. Fokusku memperhatikan empat orang yang baru saja turun dari mobil dengan seksama. Semuanya jantan. Berbeda dengan empat orang berpakaian formal tadi, keempat orang ini gaya berpakaiannya lebih sederhana. Walaupun begitu, keempat orang ini memakai topi yang sama dengan keempat orang berpakaian formal tadi, kali ini semuanya warna kuning. Berbeda dengan empat orang berpakaian formal tadi yang memang wajah mereka masih asing dalam ingatanku, keempat orang ini memiliki perawakan yang tidak asing untukku.

Ingatanku tentang mereka mulai tergapai. Mereka salah empat dari puluhan orang yang melakukan pembantaian terhadap para kolegaku. Dari kejauhan, pria paling gemuk di antara keempat orang itu mulai mengacungkan telunjuknya, menunjuk ke arahku dan satu kawanku. Aku takut mereka akan membuat nasibku atau nasib satu kawanku atau nasib kami seperti nasib para kolega kami yang lain. Salah dua dari empat orang, tidak termasuk si gemuk, pergi ke belakang mobil mereka lalu dengan kecepatan kilat mereka sudah berdiri kembali bersama gerombolan mereka, kali ini sudah bersama senjata yang mereka jinjing. Setelah melihat senjata yang mereka bawa, diriku makin yakin mereka datang dengan tujuan membunuh. Perlahan namun pasti mereka mulai mendekat selangkah demi selangkah dengan sepatu-sepatu mereka yang kusam dan terdapat banyak tanah kering yang melekat di permukaan luarnya. Mereka melangkahkan kaki ke arah kami dengan wajah datar dan tidak merasa berdosa seperti psikopat. Makin lama mereka makin dekat, sangat dekat, amat sangat dekat.

            Mereka sudah berjarak satu jengkal denganku dan satu kawanku. Ingin rasanya teriak meminta pertolongan, tapi sayangnya tidak mungkin. Si gendut menempelkan telapak tangannya ke tubuh kawanku. Hal yang sama juga dilakukan sebelum membunuh para kolegaku. Kawanku menatap lemas, ketakutan terpampang di sekujur tubuhnya. Bagi anda yang tidak mau melihat adegan sensitif silahkan untuk tidak melanjutkan membaca cerita ini. Si gendut mulai mangkir dari posisinya, sementara tiga orang lainnya mendekati kawanku. Masing-masing mereka mulai mengangkat tinggi-tinggi senjata mereka yang berupa gerjaji mesin. Cara pembunuhan yang cukup sadis mengingat mereka tidak menggunakan senjata tajam seperti pisau atau golok seperti pembunuhan biasanya.

Tiga buah mesin bergigi banyak dan tajam mulai mereka nyalakan. Terakhir kali aku melihat kawanku ini ketakutan adalah ketika ada burung gagak hitam mengitari kepalanya dan hari ini aku melihatnya sekali lagi dan ketakutan kali ini jauh lebih besar dari sebelumnya. Kawanku bahkan tidak mampu menatap para calon pembunuhnya. Tiga gerjaji mesin mulai menusuk-nusuk tubuhnya. Kawanku menjerit sangat kencang dalam rangka merasakan sakit yang begitu luar biasa. Semakin lama semakin dalam senjata itu merobek dan membelah organ-organ di dalam tubuhnya. Jeritannya makin menjadi. Lama-lama aku tidak sanggup menyaksikan kejadian itu lalu akhirnya memutuskan untuk tidak melihatnya lagi. Seiring waktu jeritannya makin menipis. Suaranya secara konsisten menurun sampai pada akhirnya hilang.

Bangkai kawanku yang sudah tergeletak di tanah. Melihatnya terbaring tanpa nyawa membuatku menangis dan mengerang sekencang yang dibisa. Aku merasa hancur sehancur-hancurnya melihat kawanku ini terbunuh. Bagaimana tidak, sejak kecil kami sudah tumbuh bersama. Bertahun-tahun sudah melewati hari-hari indah bersama. Terik dan hujan, kami menjalaninya bersama di sini, di tanah lapang ini. Detik ini tidak ada yang bisa dilakukan selain menangisi kepergiannya. Selagi ku merayakan kesedihan, si gendut memegang tubuhku dengan tangan kasarnya.

            Aku berdiri di tengah tanah lapang dengan matahari nangkring di atas kepala dan rasa tidak percaya bahwasanya aku akan tamat hari ini. Ada rasa ingin melawan mereka entah dengan memukul, menendang, atau serangan lain yang bisa membuatku bertahan dan mereka akhirnya tidak jadi membunuhku karena mereka babak belur dan terkapar lemas. Tapi hal itu tidak bisa dilakoni. Ada rasa ingin kabur dari sini dan lari secepat kilat untuk setidaknya menghilang dari pandangan mereka. Tapi hal itu juga tidak bisa kulakukan. Takut pasti ada, namun rasa takut itu kalah kuat dengan rasa pasrah akan nasib. Sampai detik ini aku tidak tahu apa tujuan mereka membunuh, tetapi satu hal yang aku paham betul, mereka adalah orang-orang yang tidak tahu terima kasih. Padahal aku dan para kolegaku yang secara perantara memberikan mereka kehidupan, atau setidaknya kaum mereka. Padahal aku dan para kolegaku yang-

Komentar

Paling banyak dilihat