Titik Mula
Riana sudah beres makan siang dan pesanan kue sudah siap. Sambil menunggu kue diambil oleh Putri–nama pemesan kue sekaligus sobat dekatku semasa duduk di bangku sekolah menengah atas–aku mengisi waktu luang dengan menghampiri rak di ruang tengah guna mengambil kemudian membaca salah satu dari sekian banyak buku yang tersusun di sana. Aku melirik deretan paling atas dan menemukan buku-buku yang tidak menggugah untuk kubaca sekarang ini. Turun satu deret ke bawah sama saja. Deret berikutnya pun demikian. Baru di deret keempat terlihat satu buku yang amat menarik perhatian, sebuah novel drama. Aku meraih buku yang dimaksud, membersihkan debu tipis yang hinggap di permukaan sampulnya, kemudian tersenyum. Bukan karena cerita di dalamnya atau gambar sampul yang lucu sehingga buat bibirku melebar, tapi karena buku ini membawa ingatanku kepada seseorang yang kutemui sepuluh tahun lalu ketika aku sedang membacanya.
Pagi menuju siang hari itu aku berada di halte dekat rumah dalam rangka menunggu bis yang akan membawaku pergi ke tempat kerja di sebuah toko pakaian di pusat perbelanjaan dekat pusat kota. Sambil duduk menunggu aku membuka tas tangan milikku yang selalu diisi satu buah buku. Aku keluarkan buku ini yang kebetulan kubawa hari itu kemudian mulai melanjutkan bacaan yang sebelumnya sempat tertunda.
Halaman demi halaman kubaca dengan tekun. Cerita yang sedang menuju puncak konflik membuat semakin menarik. Dikala sedang serius membaca bagian cerita yang sedang seru-serunya, terdengar suara yang menghamburkan konsentrasiku terhadap bacaan. Dia meminta izin untuk ikut duduk di sebelah orang yang diajaknya bicara. Aku beralih pandang ke sumber suara dan mendapati sosok cowok berkacamata yang kukira seumuran denganku sedang menatapku sambil tersenyum tipis. Aku menganggap tatapan dan senyumannya padaku sebagai tanda bahwa dia sedang berbicara denganku. Tanpa berkata apa-apa aku melihat kiri kemudian kanan dan mendapati seluruh bangku halte sudah terisi. Bangku kiri sudah diduduki seorang ibu muda menenteng tas pasar yang terisi penuh beserta dua gadis kecil di sisinya. Bangku kanan sudah diduduki empat orang ibu yang seluruhnya agak tua dan mengenakan hijab sedang asyik berbincang.
Tadinya aku berharap ada bangku kosong untuk kemudian meminta cowok itu duduk di bangku lain karena aku takut dia orang jahat atau cabul dan jauh lebih berbahaya jika duduk terlalu dekat dengannya. Tapi berhubung tidak punya pilihan lain maka mau tidak mau aku harus memberikan haknya duduk, maka kupersilahkan dia. Dari sikapnya yang sopan dan ramah waktu itu aku menaruh percaya bahwa dia tidak jahat atau cabul seperti dugaanku yang tanpa dasar, dan berharap bahwa itu benar.
Perhatianku kembali kepada buku yang masih terbuka. Mataku mulai bergerilya membaca kata per kata pada halaman seratus dua belas. Belum rampung satu paragraf terbaca, cowok itu kembali bersuara dan kembali menghamburkan konsentrasi membacaku.
“Suka novel-novelnya dia juga?”
Tanpa melihat gerak bibir cowok itu aku sudah tahu bahwa suara itu berasal dari sana. Suaranya khas dan amat mudah diingat. Aku menoleh dan mendapati dia sedang menatapku. Sama seperti tatapan sebelumnya, tatapan kali ini juga disertai senyuman tipis yang merekah. Butuh waktu berpikir sekian detik bagiku untuk menyadari bahwa “dia” yang dimaksud yaitu sang pengarang yang bukunya sedang kubaca waktu itu.
“Iya,” jawabku singkat diiringi dengan senyum tipis sesudahnya guna memberikan kesan ramah.
Saat itu aku yang sedang tidak berminat membuat obrolan dan hanya ingin membaca cerita yang semakin seru dan memikat dengan serius tanpa gangguan sesegera mungkin kembali memfokuskan diri pada bacaan. Tapi keinginan sederhana itu ternyata sulit terwujud.
“Gue juga suka novel-novel dia,” kata cowok itu.
Aku mulai kesal dengan cowok pengganggu itu. Sudah berkali-kali menggangguku membaca ditambah dia berkata hal yang tidak penting. Gak yang nanya kalau dia juga suka dengan sang pengarang dan rasanya aku tidak perlu tahu fakta itu. Tapi bagaimanapun juga aku merasa harus menyambut ocehannya agar tidak terkesan sebagai cewek angkuh, sombong, cuek, jutek, tidak sopan, atau lain-lain serupanya.
“Oh, gitu ya,” balasku singkat karena tidak tahu harus menjawab apa dan tidak ingin obrolan ini diperpanjang.
Kamu kira sesudah jawaban singkatku itu dia kehabisan bahan pembicaraan kemudian menyudahi obrolan sehingga membiarkanku membaca? Oh, kamu salah. Justru sesudah itu dia bicara panjang lebar tanpa henti yang ujung-ujungnya membuatku terpaksa memperhatikannya dan mengabaikan buku di genggaman. Dia mengoceh tentang banyak topik seputaran buku, mulai dari menanyakan buku karya sang pengarang apa saja yang telah kubaca, menceritakan buku-buku karya sang pengarang yang sudah dia baca, menyarankan satu-dua judul buku novel sang pengarang yang belum kujamah untuk segera dibaca, memberi tahu beberapa pengarang lain yang dia suka, dan mengkritik habis-habisan novel seram rilisan terbaru yang judulnya baru kudengar.
Segala yang dia bicarakan cenderung membosankan di telingaku dan yang paling penting sama sekali tidak mengikis keinginanku untuk segera melanjutkan bacaan, itu berlangsung setidaknya sampai dia menceritakan pertemuannya dengan sosok yang amat kukagumi yaitu sang pengarang. Dia bilang pertemuan itu terjadi di salah satu toko buku besar saat peluncuran buku novel terbaru sang pengarang sekitar tahun lalu.
“Kok bisa? Tau infonya dari mana?” tanyaku antusias.
“Bisa dong,” balasnya mantap, “Gue ada grup facebook komunitas pecinta buku gitu. Nah, salah satu member di grup itu yang kasih tau infonya.”
Sejak dulu aku ingin sekali punya kesempatan untuk bertemu dengannya. Saat kami berhadapan langsung, aku akan mengacungkan empat jempol pada tangan dan kaki ke arahnya sambil memuji karya-karyanya yang menakjubkan.
“Pas banget, dengar-dengar bulan depan dia mau launching novel terbarunya. Terus mau ngadain meet and greet dan signing buku gitu.”
Perkataan itu rasanya seperti secercah cahaya yang akan menuntunku agar bisa bertemu sang idola.
“Oh, ya? Tanggal berapa? Di mana?”
Cowok itu menggaruk belakang kepalanya, “Kapan dan di mana tepatnya gue juga belum tahu, sih. Masih simpang siur infonya.”
Dia melanjutkan ucapannya dengan menyebut nama lengkap grup facebook pecinta buku itu kemudian menyarankanku masuk ke grup itu bila ingin mendapat berbagai informasi terkini. Dia juga bilang bahwa dirinya menjadi salah satu admin di grup itu sehingga bisa secepatnya meng-accept permintaan bergabungku.
“Saya nggak ada facebook, sih. Tapi nanti mau bikin.”
“Sip. Gampang kok bikinnya. Bisa di warnet atau kalo punya komputer sendiri juga bisa.”
“Oke.”
Dia menjulurkan tangan kanan, “Oh, iya. Kita belum kenalan. Gue Rizky Abimanyu, panggil aja Rizky. Kalo lo?”
Tanganku menjabat tangannya, “Gina.”
“Ditunggu permintaan bergabungnya ya, Gin.”
Tidak lama setelah itu, bus kecil yang akan kutumpangi datang melipir. Aku segera menyisipkan pembatas buku di antara halaman seratus dua belas dan seratus tiga belas, memasukkan buku ini ke dalam tas, mengalungkan tas tangan di lengan kanan, berdiri tegak, merapikan baju sekenanya, kemudian tersenyum tips pada Rizky.
"Duluan ya."
"Hati-hati di jalan," sahutnya.
Keesokan harinya aku berhasil menamatkan buku ini dan membuat akun facebook kemudian masuk ke grup yang Rizky sarankan. Tidak lupa juga aku berteman dengannya di media sosial itu. Dari situ kami kerap saling kirim pesan. Kami melanjutkan bahasan soal sang pengarang, buku secara umum, bahkan hal-hal lain di luar itu, seperti makanan, beberapa kejadian hangat yang muncul di berbagai media, video Sinta dan Jojo yang saat itu sedang ramai dibicarakan, dan lain-lain dan lain-lain.
Waktu terus berjalan dan aku semakin akrab dengan Rizky. Dari hanya chatting-an lewat facebook, kami menjadi sering bertemu secara langsung dan melakukan berbagai aktivitas bersama. Entah kami belanja buku atau sekadar vakansi menuju tempat-tempat menarik di kota ini. Oh iya, aku juga datang menghadiri peluncuran buku sang pengarang bersamanya.
Omong-omong, sudah lama aku tidak membaca buku ini. Bahkan sampai lupa kapan terakhir kali menyentuhnya. Sepertinya aku akan memilih buku ini untuk dibaca sekarang. Ketika aku bangkit dari posisi berjongkok bersamaan dengan itu Riana datang mendekat.
“Bunda, ada yang ketuk pintu,” katanya sambil salah satu telunjuk tangannya mengarah ke ruangan depan.
“Siapa? Tante Putri kah?”
“Bukan. Aku nda kenal.”
Aku bergegas menuju pintu depan kemudian membukanya untuk mendapati seorang kurir.
“Siang, Kak. Mau antar paket atas nama…” kurir itu memperhatikan tulisan pada kertas yang dipegangnya sejenak, “Rizky Abimanyu. Benar di sini alamatnya?”
“Benar kok.”
“Oke, atas nama siapa kakaknya?”
“Saya Regina.”
Sesudah tandatangan sebagai bukti penerimaan aku diberikan sebuah kotak dus ukuran sedang. Kurir itu pergi sementara aku menutup pintu kemudian berbalik badan dan mendapati Riana berdiri di hadapanku. Bidadari kecil itu menatapku. Aku sudah tahu apa yang akan dia katakan sesaat lagi. Lima, empat, tiga, dua, satu.
“Itu apa?”
“Paket buat ayah.”
Komentar
Posting Komentar