Review Bagaimana Cara Mengatakan "Tidak"?: Cerita-cerita bingung yang berdengung
Kalo dilihat dari cover depan doang sih, buku ini kureng menarik buat gue. Latarnya polosan gitu aja udah gitu pilihan warna yang cerah bikin cepet kotor asal meleng dikit. Tapi ada satu hal yang saking menariknya, bikin gue lupa sama desain cover-nya yang kesannya males itu. Bagaimana Cara Mengatakan "Tidak"?, judul sekaligus pertanyaan yang mancing rasa penasaran. Begitu baca judulnya, spontan (uhuy) gue nanya di dalam hati: Mengatakan tidak ke siapa? Pas beres baca blurb pertanyaan gue itu belum kejawab samsek. Daripada makin bingung, ya udah gue baca abis bukunya.
Buku karya Raisa Kamila ini berisi sepuluh cerita pendek di mana semuanya berkisah soal susah dan gelisah para perempuan pas dihadapin sama situasi yang serba nggak pasti. Kita sebagai manusia pasti parno kalo ketemu sama kejadian masa depan yang penuh ketidakpastian. Soalnya bakal ada banyak kemungkinan (entah baik atau yang paling buruk) sementara kita nggak dikasih banyak pilihan. Ujung-ujungnya kalo sampai kemungkinan buruk yang beneran kejadian, cuma ada kebingungan yang disusul rasa nggak nyaman. Tiap cerpen di sini isinya macam-macam kejadian sederhana yang mungkin kita pernah ngalamin juga, kayak mati lampu, cukur rambut, gigi copot, adaptasi sama lingkungan baru, pecah ban di tengah perjalanan, dan sebagainya. Tapi berbagai perkara sulit yang hadir barengan sama kejadian sederhana itu bikin kata "tidak" muncul di tengahnya. Beberapa cerita berlatar di negeri yang jauh entah di mana. Sisanya bertempat di Aceh, tanah di mana sang penulis lahir dan besar. Buat cerpen yang latarnya di Aceh timeline kejadiannya sama-sama pas gejolak sosial-politik lagi menuju puncaknya, detik-detik sebelum Aceh mau ngadain penentuan nasib sendiri buat merdeka dari Indonesia waktu itu. Maka situasi nggak pasti dan berbagai perkara sulit yang udah disebutin di atas bisa dikira-kira bentuknya: mengungsi, konflik sosial, perubahan sikap masyarakat, saudara yang lenyap, sampai hubungan antarmanusia yang lagi kurang baik.
Cerita-cerita di sini bisa dibilang unik sebab banyak disuguhin dari sudut pandang berbagai anak-anak atau remaja perempuan yang polos dan nyaris nggak tahu banyak hal soal pengetahuan orang dewasa. Meski begitu ada juga beberapa cerpen yang dilihat dari sudut pandang orang ketiga tapi tetep jadiin tokoh perempuan sebagai pusat cerita. Sekalipun ada variasi sudut pandang di tiap cerpennya nggak bisa jamin buku ini jadi nggak ngebosenin. Buktinya pembawaan gaya bahasa antara sudut pandang satu sama lainnya nyaris sama persis. Gimana ceritanya pemilihan kata dari anak kecil yang gigi susunya baru copot bisa mirip banget sama gadis kuliahan yang kesepian di negeri orang? Gue suka karakter polos anak kecil dan pemikiran kompleks dari gadis kuliahan. Dua-duanya punya perbedaan perangai yang jelas. Tapi gaya bahasa—lebih tepatnya pemilihan kata—yang mirip-mirip ngebuat tiap cerpennya berasa kayak dibuat dari satu sudut pandang doang, yaitu dari kacamata penulis. Soalnya bukan cuma dua atau tiga cerpen aja yang diksinya mirip, tapi semuanya. Dan itu cukup ngebosenin.
Hampir tiap cerpen di sini dibumbuin sama background story secukupnya, jadinya pembaca bisa ngerti motif tokoh pas milih berbuat A daripada bertindak B, C, dan seterusnya. Kecuali cerpen berjudul "Cerita dari Cot Panglima" yang cerita soal wanita yang lagi hamil tua pingin pulang ke rumah ortunya sebab mau di-KDRT sama suaminya tapi mobil angkotnya pecah ban di tengah tebing. Gue rasa bakal lebih baik kalo diceritain latar belakang soal masalah rumah tangga si perempuan, perilaku kasar yang pernah dilakuin suaminya, perjuangan menjaga kehamilan selama ini, atau perasaannya atas kehamilan ini. Dengan nggak adanya itu semua, rasanya jadi sulit buat empati lebih dalem lagi ke tokohnya yang udah kesakitan dan kayaknya bakal segera ngelahirin.
Beberapa cerpen punya ending yang dibiarin ngegantung gitu aja tanpa ada kejelasan apa-apa. Biasanya ending macam begini emang ditujuin supaya ngasih ruang buat para pembaca nentuin adegan paling akhir versi mereka sendiri. Tapi mungkin aja sang penulis punya maksud lain. Gue sih mikirnya ini buku tuh ceritain para perempuan pas berjumpa sama situasi nggak pasti yang bikin bingung, jangan-jangan beberapa ending sengaja dibikin gantung supaya pembaca ikut ngerasain situasi yang sama kayak yang dirasain para tokoh? Mungkin. Ini nggak bisa dibilang kekurangan tapi bukan juga kelebihan, cuma sekadar pembawaan sang penulis aja. Tapi kalo banyak ngegantung begitu bakal banyak yang suka dan banyak juga yang kurang suka. Gue sih tim yang suka.
Sebagian cerpen di sini berdengung keras sampai ngiang-ngiang di ingatan, sebagian lagi degungnya lewat gitu aja tanpa mampir lama-lama di kepala. Ada sejumlah cerita pendek yang jadi favorit gue. "Orang Asing" bercerita soal remaja perempuan yang ikut mamanya pindah jauh ke kota lain dan sulit adaptasi sama lingkungan barunya. Gue suka cerita ini soalnya rada personal ke gue dan mungkin banyak orang lain. "Bagaimana Cara Mengatakan "Tidak"?" bercerita tentang perempuan nggak bisa ngehindarin kejahatan seksual di mana pelakunya bahkan dari orang terdekat. Cerita yang seru tapi ironis, menegangkan tapi berujung tragis. Overall ini cerita paling bagus menurut gue. Nggak salah sang penulis kasih judul buku ini pake judul cerpen ini. "Peri Gigi" bercerita soal anak kecil perempuan yang naro gigi copotnya di bawah bantal habis itu mohon ke peri gigi supaya besok bisa ketemu ayahnya yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Gue nobatin cerpen ini jadi honorable mention. Cerita yang bisa bikin gue mesem-mesem sendiri lihat tingkah anak kecil yang polos, unik, dan susah ditebak. Salah satu dari sedikit cerita yang enteng di tengah kumpulan cerpen yang kebanyakan serius dan mencekam.
Inget pertanyaan gue yang "mengatakan tidak ke siapa?" di awal tulisan ini? Begitu rampung baca abis ini buku akhirnya ketemu juga jawabannya. Horeeeee. Buat pembaca review ini yang mau tahu jawabannya apa, biar gue kasih spoiler dikit ya. Jadi tuh-
Komentar
Posting Komentar