Review Menjejal Jakarta: Hiruk-pikuk di panggung besar

Jadi ceritanya gue beli buku ini di akhir 2021, masa di mana lagi gila-gilanya buat belajar seputaran kepenulisan jurnalistik. Tapi seiring waktu minatnya memudar gitu aja. Ujungnya Menjejal Jakarta ini cuma berjejalan di lemari belajar tanpa sempet ditamatin. Sampai akhirnya minggu kemarin pas lagi rapihin lemari gue bersua lagi sama ini buku dan mutusin buat baca lagi. Begitu beres, gue dibikin sadar akan sesuatu. Apaan tuh sesuatunya??? Makanya baca review-nya sampai abis, dong.



Menjejal Jakarta merupakan buku nonfiksi yang isinya dua puluh lima naskah reportase—liputan suatu peristiwa—di pusat maupun pinggiran Jakarta. Bahasan yang dihidangin di dalamnya ada macam-macam. Mulai dari serba-serbi hidup jadi keturunan Tionghoa di Indonesia, lika-liku penuntasan kasus pelanggaran HAM, isu sosial-ekonomi, isu jurnalisme, kultur yang bertumbuh kembang di berbagai titik, sampai cerita soal para tokoh politisi, aktivis, dan seniman. Gue pribadi suka sama semua topik yang dibahas di sini. Tapi ada beberapa yang jadi favorit. Topik jurnalisme misalnya. Ngerasa tercerahkan banget abis baca dua tulisan soal jurnalisme bencana yang buruk dan media cetak yang mulai keteteran sama media online. Gue juga suka topik kultur di Jakarta kayak tulisan soal padatnya Transjakarta, aksi kamisan, fanatisme fans JKT48, dan kineforum yang merupakan tempat pemutaran film-film yang nggak bisa ditayangin di bioskop komersil. Ada lagi tulisan yang nggak masuk dua kategori topik di atas tapi jadi favorit juga. Sebut aja tulisan sehari ngikutin kegiatan gubernur DKI Jakarta, perjuangan Allan Nairn selesain kasus pelanggaran HAM dengan reportasenya, masyarakat bantaran Kali Ciliwung yang dipindah ke rusunawa lalu hidup di situasi nggak pasti, kisah Jose Rizal Manua yang semangat melatih teater di usia senja, dan kisah Eros Djarot soal kedalaman rasa lokal Indonesia di musiknya.


Tulisan-tulisan di dalam buku ini dibawain dengan genre jusnalisme sastrawi. Genre itu merujuk kepada tulisan jurnalistik yang gaya nulisnya sama kayak karya sastra macam cerpen atau novel. Makanya, walaupun buku karya Viriya Singgih ini isinya kumpulan berita tapi rasanya kayak nggak lagi baca berita di koran atau buletin. Lebih berasa kayak kumpulan cerpen. Soalnya di tiap tulisan ada alur, berbagai karakter dilengkapin motif kuat, sama jahitan narasi cerita yang jenius dari sang penulis. Singkatnya: nyaman dibaca. Tapi kan nggak selamanya yang bikin nyaman itu menarik. Ada juga segelintir tulisan yang menurut gue kureng bikin interest. Sebenernya masalah selera sih. Toh, di atas udah disebutin beberapa tulisan di sini yang jadi favorit gue. Mungkin banget pas lo beres baca ini tulisan favorit kita beda jauh.


Gue kagum banget sama cara Viriya Singgih buat nentuin siapa aja yang jadi narasumber di tiap tulisannya. Alih-alih cuma wawancarain dosen atau pakar yang ahli di bidang yang lagi dibahas, dia juga ngobrol sama para pelaku yang sehari-harinya memang berkecimpung di situ. Ambil contoh, di tulisan soal fanatisme fans JKT48 ada wawancara dengan dosen dan lebih dari tiga orang wota—nama fans JKT48. Jadinya analisis berdasar data dari dosen bisa langsung dikonfirmasi sama para pelaku yang jadi akar dalam bahasan (dalam kasus ini adalah wota). Kalo pakai banyak sudut pandang dari berbagai elemen masyarakat, sebuah berita nggak cuma valid tapi juga tegas dan kokoh. Dengan syarat elemennya relevan kayak tulisan-tulisan di sini. Jangan kayak... Ah, udahlah.


Mau ngomentarin dikit soal sampul baru Menjejal Jakarta. Simpel tapi keren. Gue suka sama warnanya yang dominan gelap jadi nggak gampang kotor atau dekil. Menggambarkan langit Jakarta di malam hari dan bangunan berdempetan semuanya dengan kondisi lampu nyala. Mungkin buat ngegambarin bahwa Jakarta selalu sibuk dan tidak pernah tidur. Bahwa akan selalu ada kehidupan selama dua puluh empat tujuh tanpa henti.



Pada akhirnya, Jakarta sebagai pusat dalam banyak sektor di Indonesia udah kayak panggung besar dengan jutaan penonton. Banyak banget orang yang pingin tampil di sana dengan tujuan beda-beda. Mereka bisa nampilin apa aja yang dimau sesuai tujuan awal. Tapi saking banyaknya yang mau mentas di sana ngebuat suasana jadi hiruk-pikuk. Mereka harus bersaing dengan sesamanya supaya bisa naik. Mereka bakal ngelakuin apapun dan dengan cara apapun biar bisa sampai ke atas.


Menjejal Jakarta bikin gue sadar kalo ternyata selama ini gue kurang nongkrong. Gimana bisa gue nggak tahu kalo ada tempat pemutaran film alternatif di Jakarta? Gimana bisa gue nggak tahu kalo ada toko buku bekas besar di Jakarta yang dikelola Jose Rizal Manua? Gimana bisa gue nggak tahu samsek soal kasus Sitok Srengenge? Padahal dari brojol sampai sekarang gue di Jakarta terus. Buku ini patut dibaca buat kalian yang penasaran sama apa-apa yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya tapi jarang disorot media. Hal-hal yang kalian belum tahu tapi pingin tahu soal Jakarta ada di sini. Segitu aja review-nya. Gue mau nongkrong dulu. ^^

Komentar

Paling banyak dilihat