Dies Natalis

Tepat dua dekade silam, pada tanggal yang sama dengan hari ini, saya terbit di muka bumi. Serupa macam yang sudah-sudah, tidak ada yang spesial pada ulang tahun kali ini. Hari berlangsung layaknya hari-hari biasa lainnya. Tak ada ucapan, kue, lilin, makanan khusus, pesta, kado, acara berfoto, dan apapun terkait ulang tahun. Tradisi acara ulang tahun pada umumnya tak diterapkan di lingkungan saya. Meski begitu, saya malah bersyukur atas hal tersebut sebab diri ini memang kurang meminati acara demikian dan agak bingung dengan konsep dari perayaan ulang tahun itu sendiri. Menurut saya, hari lahir sama sekali tak perlu dibuat perayaan. Sebab makna hari lahir bagi saya yaitu hari tepat di mana usia seseorang berkurang sebanyak setahun sehingga orang tersebut setahun mendekat menuju kematian. Dan perjalanan mendekati kematian bukanlah sesuatu yang cocok untuk dirayakan. Namun, ini hanya opini pribadi. Bagi kamu yang tidak setuju karena mungkin memaknai hari lahir dengan cara yang berbeda, maka sah-sah saja. Tidak perlu membahas makna hari lahir lebih dalam lagi sebab tujuan tulisan ini dibuat bukanlah untuk itu.

Walaupun tidak dengan ucapan, kue, lilin, dan lainnya, saya turut melangsungkan satu aktivitas yang secara umum ada di perayaan ulang tahun. Sebelum meniup kuat-kuat lilin yang berdiri gagah di atas kue sampai si jago merah padam, umumnya orang akan mengutarakan harapan mereka di usia yang baru. Acara yang biasa disebut dengan make a wish tersebut juga saya laksanakan. Dalam beberapa tahun belakangan rasanya saya tidak pernah absen untuk membuat bermacam-macam harapan tiap kali hari lahir terjadi. Termasuk kali ini, saya berharap agar dapat mengatasi salah satu kendala yang menghambat saya selama ini.

Beberapa waktu lalu saya sempat membaca Kenapa Kita Tidak Berdansa?, sebuah buku nonfiksi karya Dea Anugrah. Esai urutan buncit dalam bacaan tersebut mengisahkan beberapa pengalaman sang pengarang ketika menyanyikan lagu “Halo-Halo Bandung” yang merupakan salah satu lagu favoritnya. Begitu aktivitas membaca rampung, terlintas sebuah pertanyaan mengenai lagu favorit saya. Lebih spesifik lagi, lagu wajib nasional favorit saya. Sejumlah judul, potongan lirik, maupun momen ketika saya menyanyikan lagu wajib nasional ketika masa sekolah berseliweran secara acak dalam benak. Pikiran saya terhenti dan terfokus kepada “Maju Tak Gentar” karya Cornel Simanjuntak untuk kemudian menyadari bahwa itulah lagu nasional favorit saya. Judul yang sekaligus menjadi baris pertama dan ketiga pada liriknya menjadi salah satu bagian favorit saya. Dengan itu saja lagu tersebut mampu menggambarkan secara singkat mengenai semangat serta keberanian rakyat Indonesia untuk melawan para penjajah yang memiliki persenjataan lebih kuat. Sementara sisa liriknya berhasil mempertegas penggambaran yang dimaksud.

Kita semua tentu masih ingat kalimat ikonik dari Presiden Soekarno yang berbunyi, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”. Saya mengamini kalimat tersebut sebab saya turut merasakan bahwa melawan diri sendiri memang paling sulit di antara yang paling sulit. Kala melawan diri sendiri seringnya saya gentar terhadap apa-apa saja kemungkinan peristiwa buruk apabila saya memutuskan untuk melawan, padahal peristiwa buruk yang dibayangkan belum tentu terjadi. Kalimat sebelumnya mungkin agak sukar dicerna tapi saya tidak dapat menjabarkan secara lebih rinci karena satu dan lain hal. Pada intinya, diri saya yang rawan gentar berbanding seratus delapan puluh derajat dengan semangat yang disajikan dalam “Maju Tak Gentar”. Gentar selalu bisa mengalahkan saya dalam hampir setiap peperangan dan ketika dia berjaya maka rasa putus asa, malas, serta benci mengurung saya kuat-kuat, lekat-lekat.

Di tahun kedua puluh ini saya ingin menjadikan maju tak gentar sebagai salah satu semboyan utama dalam menjalani hidup, dengan harapan dapat senantiasa menghadapi semua masalah hidup serta proses pendewasaan dengan gagah berani dan tanpa takut sedikitpun. Sebetulnya, ada satu lagi bagian lagu “Maju Tak Gentar” yang menjadi favorit saya yaitu pada tiga kata di baris terakhir.

Majulah… majulah… menang…

Entah apa makna sesungguhnya dari penggalan lirik tersebut, tetapi kalau boleh saya interpretasikan kata-kata tersebut bermakna ketika kita ingin menang, berjaya, berhasil, ataupun kata sejenisnya maka kita harus siap untuk maju menerjang semua halangan menuju ke sana. Saya bukan seorang musikus, tetapi bisa jadi kata “majulah” diulang sebanyak dua kali agar nadanya pas atau lagunya semakin apik bila dibunyikan. Atau bisa jadi karena untuk menuju satu kemenangan, kita harus mau maju dengan usaha double (lebih kuat) sehingga kata tersebut perlu pengulangan.

Begitu para anak kelinci lahir, sang induk akan menempatkannya ke dalam sebuah lubang dengan tujuan agar mereka terlindungi dari segala bentuk ancaman dunia luar. Kala bayi kelinci beranjak remaja, satu persatu dari mereka akan keluar lubang guna melihat dunia. Kelinci pertama yang menerobos persembunyian untuk melihat cahaya–baik dalam makna literal maupun filosofis–merupakan kelinci pemberani dan tak gentar untuk keluar dari zona nyaman. Kita hendaknya harus siap untuk menjadi kelinci yang pertama.

Paragraf di atas merupakan bedahan makna lagu JKT48 berjudul “First Rabbit”. Memiliki pesan yang sewarna dengan “Maju Tak Gentar”, membuat saya turut begitu menyukai karya musik rilisan 2016 ini. Serupa macam lagu sebelumnya, saya pun memiliki bagian favorit untuk yang ini.

Aku tidak takut pada luka dan sakit

Apa yang terjadi ku tak ‘kan gentar

Pergi untuk mencari impian milikku

Ayo jadi kelinci yang pertama

Usia dua puluh akan menjadi garis mula sebuah penjelajahan kehidupan yang panjang, memang. Namun, saya bisa, kok, mengarunginya tanpa gentar, mengusahakannya dengan lebih kuat lagi, dan menjadi yang pertama. Semoga… Semoga…. Semoga… 

Komentar

Paling banyak dilihat