Review Funiculi Funicula 2: Ada teh yang tumpah nih!
Konnichiwa minna-san! Selesai berpetualang melintasi waktu bareng novel Funiculi Funicula yang pertama, kali ini gue bakal ngebahas seri keduanya. Sebelum itu, buat yang mau baca review buku pertama bisa dilihat di sini. Funiculi Funicula "Kisah-kisah yang Baru Terungkap" ini punya sampul depan yang ngasih lihat POV lain dari kafe di dalam cerita. Cita rasa anime masih dipertahanin di sampulnya. Apakah novel ini lebih bagus dari yang pertama? Atau malah kebalikannya? Ayo kita bedah! Oh iya, disclaimer dulu dikit: review ini berisi spoiler. Bagi yang nggak mau kena spoiler, bisa langsung berhenti baca ulasan ini.
Novel ini ditulis oleh Toshikazu Kawaguchi dengan ngangkat genre drama slice of life yang dibungkus fiksi. Sama kayak seri sebelumnya, novel ini ceritain soal kafe tua bawah tanah di salah satu sudut kota Tokyo yang bernama Funiculi Funicula. Kafe itu bisa nganterin seseorang pergi ke masa lalu atau depan cuma pakai kopi. Tapi banyak peraturan yang harus dijalanin supaya bisa pergi ke sana dan balik dengan selamat. Peraturan-peraturan yang di satu sisi ngeselin soalnya ribet dan bikin puyeng tapi di sisi lain bikin ceritanya jadi seru. Penjelasan aturan-aturan yang ada udah dibahas ya di review buku pertama. Nah, di sini kafe itu kedatangan empat orang lagi yang ngunjungin kafe buat balik ke masa lalu atau datang ke masa depan dengan motivasi yang berbeda satu sama lain.
Empat orang dan kisahnya ini nggak punya kaitan langsung sama buku pertama (kecuali bab berjudul "Kekasih"). Biarpun kayak gitu, gue tetep saranin buat baca novel pertamanya dulu. Soalnya novel ini isinya tuh ngungkap pertanyaan-pertanyaan atau cerita yang belum rampung diceritain di novel sebelumnya. Ya, sesuai sama judul lengkapnya lah. Soal kayak kenapa Kazu selalu bersikap datar dan dingin, siapa wanita yang duduk di kursi itu, apakah Fumiko berakhir bahagia sama Goro, kenapa ujungnya Kazu nggak bisa lagi bikinin kopi buat pengunjung, dan beberapa perintilan lain dikulitin di sini. Sesuai jumlah orang yang pingin pergi melintasi waktu, novel ini terdiri dari empat bab yang semuanya bakalan gue bahas tipis-tipis.
Sahabat—ceritain soal perjalanan Gotaro ke 22 tahun lalu buat ketemu Shuichi, temennya yang kalo di masa sekarang udah lama meninggoy. Dia balik ke masa itu gara-gara Haruka—anak Shuichi yang Gotaro rawat dari kecil—pingin nikah. Pas acara perayaan Gotaro pingin Shuichi kasih pesan buat anaknya sekaligus mau kasih unjuk sosok ayah kandung Haruka yang sebenernya (dalam bentuk video). Soalnya selama ini dia nggak bilang ke Haruka kalo dia bukan ayah asli gadis itu. Wejangan apa yang bakal dikasih Shuichi ke anaknya? Dari empat cerita yang ada menurut gue ini ada di deret paling bawah. Dibilang jelek sih nggak, tapi cara ngebangun ceritanya kureng beut. Kebanyakan bahas rugby nggak penting-penting amat. Ocehan panjang lebar soal posisi dalam rugby kelihatan cuma buat cocok-cocokin filosofi cerita secara keseluruhan doang. Kenapa nggak coba ceritain soal kedekatan Gotaro sama Shuichi di luar lapangan pas mereka satu tim rugby. Atau biarlah tetep cerita soal olahraga itu, tapi kan bisa buat bahas momen epik saling bantu antara mereka di pertandingan suatu turnamen. Alur cerita ini kesannya buru-buru. Itu ditunjukin juga di kisah Haruka yang dirawat dari kecil sampai mau nikah sama Gotaro. Di salah satu paragraf yang bilang Gotaro ngelewatin hari-hari bahagia bareng Haruka. Tapi pembaca nggak dikasih momen di mana Gotaro ngalamin hari-hari yang dimaksud. Meski ini cerita antara Gotaro sama Shuichi, penting buat adain sudut pandang Haruka. Biar gimanapun, Haruka ada di tengah mereka. Alangkah lebih bagus kalo kita dikasih lihat apa yang dia rasain dari kecil udah kehilangan ibu. Sama kemungkinan reaksinya pas tahu sebenernya dia udah kehilangan ayahnya juga.
Ibu dan putra—berisi kisah soal Yukio yang pingin ketemu ibunya yang belum lama meninggal. Gara-gara satu dan lain hal dia nggak dapet kabar waktu Kinuyo—nama ibunya—dirawat di rumah sakit. Pun dia nggak dateng pas upacara pemakamannya. Tujuan dia pergi ke masa lalu yaitu mau ketemu Kinuyo buat terakhir kali. Sekalian balikin tabungan yang sempet ibunya kasih buat pegangannya dalam meraih mimpi di kota lain dan ngarang cerita kalo dirinya udah sukses dengan maksud supaya Kinuyo matinya tenang. Padahal mah aslinya Yukio ini habis ditipu orang, hidup miskin, dan kelilit utang. Saking putus asanya, dia sampai mau (dalam tanda kutip) bundir. Pas balik ke masa lalu, Kinuyo coba bujuk Yukio supaya nggak jadi ngelakuin hal itu. Cerita ini bagus dan dalem banget ngegambarin hubungan ibu dan anak. Bagian soal passion yang sempet ditentang, ngerasa gelisah gara-gara belum sukses di umur tiga puluh, dan ibu sebagai sosok pelindung gue yakin relate ke banyak orang serta ngasih kesan tersendiri di dalamnya.
Kekasih—bercerita tentang pria namanya Katsuki Murata yang kemungkinan waktu hidupnya tinggal enam bulan pergi ke masa depan buat mastiin wanita yang dia suka yaitu Asami Mori hidup bahagia. Katsuki minta kenalannya yang namanya Fumiko kerja sama buat bawa Asami ke waktu yang ditentuin. Terus Katsuki ngasih dua kondisi di mana Fumiko nggak harus bawa Asami ke kafe: Katsuki nggak jadi meninggoy atau Asami udah nikah dan bahagia. Begitu hari-H Asami datang ke kafe tapi ada cincin di jarinya. Kenapa Asami datang? Singkat aja komentar buat cerita ini: bagusss. Makna ceritanya dalem sampai-sampai ninggalin kesan banget. Bagian favorit jelas dialog panjang Katsuki soal keguguran yang dialamin Asami. Satu yang unik dari cerita ini ada di alurnya. Dari delapan cerita di dua buku Funiculi Funicula, tujuh di antaranya punya format background story ngejelasin alasan pengunjung kafe pingin pergi melintasi waktu sambil spill tipis-tipis cerita bab berikutnya - orang itu memohon buat pergi ke waktu lain - pergi melintasi waktu dan ketemu orang yang dicari - flashback cerita antara pengunjung sama orang yang ditemuin - balik ke masa depan. Tapi cerita ini lain sendiri jadinya lebih seger. Menurut gue ini cerita terbaik dari empat yang ada di novel ini. Walaupun ada satu sih yang masih dibingungin: motivasi Asami buat bohong soal cincin apa?
Suami dan istri—ceritain tentang Kiyoshi, pria tua pensiunan detektif yang pingin balik ke masa lalu buat ngasih kado ulang tahun pertama sekaligus terakhir buat Kimiko, istrinya. Buat cerita ini gak banyak yang bisa gue omongin nanti takutnya malah ngasih heavy spoiler. Overall ceritanya lumayan bagus. Bahasan romantisnya pas. Bahasan soal hubungan rumah tangga juga pas. Tapi nggak tahu kenapa cerita ini tetep kurang berkesan buat gue. Apa gara-gara gue belum berumah tangga kali ya jadi kurang relate? Mungkin. Kalo dibandingin sama cerita Kotake dan Fusagi—kisah suami-istri di buku pertama—jujur gue pribadi lebih suka ini.
Yang kurang menarik dari buku ini:
• Nama tokoh-tokohnya mirip jadi susah diinget. Kiyoshi, Kimiko, Kinuyo, Kyoko, Yukio, dll. Keder woooyyy :(
• Ragam watak para tokoh yang nggak setebel buku pertama. Hampir nggak ada karakter unik dan nyentrik di sini.
• Lagi-lagi kalimat atau bahkan paragraf repetitif yang ganggu. Terutama soal penggambaran suasana kafe. Pengulangannya sih udah lebih dikit dari buku pertama, tapi tetep masih ada satu-dua uraian kondisi detil kafe yang kesannya buat panjang-panjangin doang.
Yang menarik dari buku ini:
• Karena tokohnya makin banyak dan saling beririsan, di awal buku ada bagan yang jelasin singkat para tokohnya dan hubungannya sama karakter lain.
• Ada tokoh Miki—anak cewek polos umur tujuh tahun—yang kelakukannya unik khas anak kecil. Ceria iya, heboh iya, random iya, manja pun iya. Segala perangai dan celetukannya di buku ini lumayan bikin mesem-mesem lah. Bagus sebagai oase di tengah karakter lain yang semuanya kurang tebel.
• Banyak kata (atau istilah) yang berhubungan sama budaya atau kultur khas Jepang, kayak randoseru, ittan-momen, tanzaku, dan banyak lagi. Lumayan lah dapet wawasan baru.
• Sebenernya ini udah ada dari buku pertama, cuma gue lupa bahas. Sebagai novel yang punya latar tempat di kafe dan pake kopi buat alat time travel, ada pembahasan soal kopi yang dikasih dengan porsi pas. Tentang asal-usul nama biji kopi mocha dan kilimanjaro, penggambaran rasa kopi, sampai metode-metode bikin biji kopi jadi secangkir kopi. Singkat, padat, jelas, dan nggak ganggu jalan cerita.
Dari segi cerita, buku kedua ini lebih intim daripada yang pertama. Tapi dari segi penokohan, buku ini lebih tipis dari yang pertama. Di buku ketiga, gue sih ngarepin cerita yang out of the box sama alurnya nggak template kayak cerita "Kekasih" di buku ini. Sama satu lagi, mau lihat lebih banyak tingkah kocak geming si gadis kecil Miki. Semoga aja di buku ketiga Miki nggak jadi remaja atau bahkan orang dewasa. Segitu dulu ya ulasan kali ini, sampai jumpa di Dona Dona! ^^
Komentar
Posting Komentar