[14DWC - Day 6] Goldilocks Zone
Baru kali pertama saya mencicipi perasaan semacam ini seumur hidup. Mulanya kami hanyalah sepasang insan yang saling asing meski menimba ilmu di sekolah yang sama. Hingga pada sebulan lepas kami dipersuakan sebagai perwakilan sekolah guna berjuang di ajang olimpiade sains nasional tingkat provinsi. Dia mengikuti bidang matematika sementara saya menghuni cabang fisika. Oleh karena kedua disiplin ilmu bersinggungan, maka kami kerap berlatih bersama.
Dia banyak membantu saya guna memahami bermacam materi fisika yang urung dikuasai secara menyeluruh. Tak hanya perihal pelajaran saja, kami berbincang pula tentang bermacam bahasan lain. Dari sana saya menyadari bahwa kami memiliki kesamaan: sama-sama gemar menilik kilau bintang yang bertaburan di angkasa. Saya suka caranya dalam bicara, tersenyum, menatap, menanggapi segala sesuatu, pun menampakkan perhatian pada orang lain. Semua itu terasa hangat sekali bagi saya hingga membuat nyaman.
Kala lonceng tanda istirahat berbunyi, saya menghampiri dia di ruang kelasnya guna menyerahkan sebatang coklat. Saya mengatakan bahwa coklat itu sebagai hadiah sebab dia berjaya menduduki podium tertinggi dalam ajang tersebut. Sejujurnya ada alasan lain yang mendasari saya memberinya makanan manis itu, hanya saja tak saya utarakan. Alasan bahwa saya merasa tertarik padanya.
“Selamat, ya. Lo keren,” ujar saya seraya mengacungkan dua ibu jari tangan.
“Makasih banyak,” balasnya sambil tersenyum manis, “Lo juga keren, kok, bisa dapet juara tiga. Denger-denger soal fisika susah banget.”
Saya bangga sekaligus tersipu dalam masa bersamaan. Wajah saya pasti berubah merah muda. Bukan karena pujiannya, namun insan yang melontarkannya. Saya pun berujar bahwa terdapat andilnya dalam pencapaian saya di ajang tersebut.
“Mmm.... Malam minggu ini lo ada acara, nggak?” tanyanya.
Saya berpikir sejenak, “Nggak, kenapa?”
“Mmm…. Gue mau ngajak lo pergi ke bukit di pinggir kota. Dari atas sana ursa mayor kelihatan jauh lebih jelas, loh. Mau, nggak?”
Tiba-tiba hati saya berdegup kencang sekali. Ini beneran Ren ngajak gue kencan? Bisa dipastikan bahwa saya menjadi salah tingkah. Saya sedikit menundukkan kepala guna menyembunyikan ekspresi gembira yang tertahan darinya. Mulut ini kaku sekali untuk diminta mengucapkan kata.
“Nggak mau, ya?”
“Eh? Mm- mau. Mau, kok,” jawab saya gugup, “Bb- berdua aja?”
Dia mengangguk.
Kini, dari jendela kamar tidur, saya menatap rembulan yang urung bulat sempurna lengkap dengan lautan bintang yang pancaran sinarnya secerah wajah Ren. Apa sekarang dia juga lagi ngelihatin bintang yang sama? Andai jawabannya iya, saya ingin menitip pesan pada bintang guna disampaikan pada Ren. Sebuah pesan berisikan pengakuan bahwa saya menaruh hati padanya. Ah, saya tak sabar ingin lekas berada di malam minggu.
*****
Duh, tiba-tiba kangen masa sekolah.
Komentar
Posting Komentar