[14DWC - Day 1] Distilasi

 


Meski jumlahnya tidak banyak, kilauan bintang di atas sana membuat langit terlihat anggun. Sementara di bawah sini udara malam terasa begitu menusuk. Sampai-sampai Farhan dan Alya kedinginan sebab mereka tidak mengenakan pakaian yang cukup tebal. Sejak tiba di sini sekitar dua jam lalu, mereka telah bercakap mengenai banyak topik. Album baru Yura Yunita, rencana Alya untuk adopsi kucing, perasaan ketika lulus sekolah menengah atas, momen-momen unik dan lucu selama masa sekolah, sampai impian di masa depan. Tapi beberapa menit lalu mereka berhenti berbincang. 

Kini nyaris tidak ada suara di tempat ini kecuali desiran angin yang menerpa pepohonan dan bunyi samar-samar kendaraan yang melintasi jalan. Alya menatap lampu taman sambil memasang ekspresi jengkel di wajahnya. Tentu ia tidak kesal pada lampu itu, melainkan pada seseorang yang kini duduk membatu di sebelahnya. Setelah minuman kalengnya habis, Farhan tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk menghindari mati gaya. Dalam beberapa kesempatan tertangkap Alya mencoba untuk mengatakan sesuatu. Beberapa kesempatan pula bibirnya seperti tertahan. Hingga pada percobaan ke sekian perempuan itu berhasil mengeluarkannya.

“Kenapa harus Amerika, sih?” Alya membuyarkan keheningan.

Farhan sedikit menelengkan kepala. Dia menemui tatapan tajam milik pacarnya. Tatapan yang membuatnya merasa terindimidasi sehingga gelagapan saat hendak bicara.

“Kenapa coba harus jauh-jauh ke sana? Kampus di sini juga banyak kok yang bagus,” cecar Alya dengan nada yang masih sama tingginya dengan sebelumnya.

Bulan lalu Farhan menerima kabar bahwa ia mendapatkan beasiswa penuh dari sebuah universitas di New York selepas melewati serangkaian seleksi dan wawancara sebelumnya. Untuk Farhan yang memang tergila-gila dengan Amerika tentu ini merupakan kabar sangat, sangat menggembirakan. Bahkan dia sampai berjingkrak kegirangan setelah membuka pengumumannya. Orang tua, para guru, serta semua kawannya pun turut berbahagia. Salah satu sahabat karibnya mengaku bahwa dia bangga sekaligus kagum melihat Farhan sebab telah menuai hasil atas usaha kerasnya. 

Lain hal dengan yang mereka, Alya adalah satu-satunya orang yang tidak menunjukkan rasa senang ketika mendengar kabar itu. Sikap gadis berambut bondol itu bukannya tanpa alasan. Dia tidak ingin berjarak begitu jauh dengan kekasihnya. Dia mau laki-laki itu selalu ada di dekatnya supaya bisa terus kencan saat rindu, bermanja-manja saat suka, dan menyandarkan kepala di pundaknya saat susah. Dari sebelum mendaftar beasiswa, Alya sudah ribuan kali memohon kepada Farhan untuk mengurungkan niatnya kuliah di luar negeri. Tapi apa daya, Farhan tetap bersikeras memperjuangkan impiannya.

“A- aku kan udah jelasin. Dari dulu aku pengen banget ngerasain tinggal di US, especially New York,” tutur Farhan, “Mumpung sekarang punya chance, better aku ambil. Kesempatan kayak gini belum tentu datang dua kali buat aku.”

Alya mendesah, “Terus hubungan kita gimana?”

“Nggak gimana-gimana. Our relationship akan fine-fine aja biarpun harus berjarak. Lagipula kita cuma jauh secara fisik. Secara hati dan pikiran kita selalu deket.”

“Misal nih, kamu di sana terus aku kangen. Gimana coba?”

Farhan mengusap-usap bagian belakang kepala Alya, “Kita video call.”

“Mana enak kalo nggak ketemu langsung,” protes Alya sambil menjauhkan kepalanya dari tangan Farhan, “Kita nggak bakal bisa ngejalanin LDR. Pasti kita bakal udahan, lihat aja nanti.”

“Come on Alya, jangan pesimis begitu.”

“Gimana nggak pesimis, toh nanti kamu ketemu sama Rebecca, Samantha, Charlotte, Alice, Emma, Chloe, Eleanor, Jacqueline, Grace, sama Chelsea.”

Farhan terlihat bingung, “Siapa mereka?”

“Nama-nama cewek bule yang nanti kamu temuin di sana, lah. Yang lebih cantik dari aku, lebih baik, lebih pinter, lebih lucu, lebih sabar. Yang akhirnya bikin kamu milih mereka daripada aku.”

“Kamu mikir aku akan mutusin kamu demi cewek sana?” Farhan terkekeh, “Ya nggak mungkin, lah.”

Farhan memegang tangan Alya kemudian berjanji bahwa dia akan senantiasa setia dengan perempuan itu. Dia juga berjanji akan segera pulang ke Jakarta begitu lulus untuk bekerja dan tentu memulai hubungan ke arah yang lebih serius. Mendengar itu sama sekali tidak membuat Alya tenang sedikitpun. Pikiran negatifnya masih berkata bahwa Farhan akan berpaling darinya. Walaupun dalam lubuk hatinya menaruh sedikit percaya bahwa laki-laki itu akan berbuat sesuai perkataan, tetap saja ekspresi wajahnya tampak sejalan dengan pikirannya.

“Kalo ada uang aku akan pulang ke sini pas libur kuliah,” sambung Farhan, “Plan aku, sih, mau sambil part time di sana.”

"New York itu dingin banget loh, Han," balas Alya tanpa menyinggung apa yang sedang Farhan bahas, "Tiap musim dingin pasti turun salju bejibun. Jangan salah ya, salju nggak seindah yang kayak kita lihat di film. Udah tebal, dingin, menghambat aktivitas, ribet bersihinnya."

"Aku yakin kok bisa atasin itu."

"Terus aku baca satu artikel yang bilang banyak orang-orang pemakai narkoba di sana. Tingkah mereka suka aneh-aneh dan merugikan orang lain. Kalo kamu ketemu mereka di jalan gimana?"

"Tenang, aku bisa jaga diri."

"Belum lagi di banyak banget kasus penembakan di area-area publik. Kamu mau lagi jalan-jalan di taman kayak gini tiba-tiba kena dor? Aku, sih, nggak mau."

“Kok kesannya kamu berusaha banget supaya aku nggak jadi ke sana?" Farhan mendesah,  "Aku kira kita akan saling support. Padahal kita udah pernah janji dukung satu sama lain buat ngejar impian masing-masing.”

Alya seketika terdiam. Wajahnya mengisyaratkan bahwa dirinya merasa bersalah. Keheningan antara mereka kembali melanda cukup lama. Salah satu dari mereka tidak ada yang berusaha menyambung pembicaraan. Udara makin dingin bersamaan dengan mereka yang makin membeku. Namun, tiba-tiba saja Alya memeluk erat Farhan, sangat erat. Alya sendiri tidak tahu pasti untuk alasan apa dirinya spontan melakukan itu. Dirinya hanya merasa harus memberi kepada sosok di sebelahnya sekarang. Farhan mengusap-usap kepala bagian belakang Alya, kali ini tanpa perlawanan. Suasana dingin seketika berubah menjadi hangat.

“Pokoknya aku akan keep contact sama kamu selama di sana. Kalau perlu setiap hari.”

“Janji ya?”

“Iya.”

Bintang-bintang masih bertaburan di atas sana. Farhan berjalan sambil menuntun sepedanya, bersama Alya ia menyusuri tepian jalan untuk pulang ke rumah. Tiba-tiba saja Alya teringat sesuatu yang ingin dikatakannya.

 “Oh iya, kamu jangan lupa cari cara buat ngadepin Karen.”

Farhan tertawa, “Mending kabur aja, deh. Biar nggak ribet.”

Alya ikut terkekeh.



*****




Jadi kemaren gue abis baca-baca blognya Kevin Anggara terus ngelihat dia bikin 30 days writing challenge, yang mana selama tiga puluh hari berturut-turut dia bikin dan ngepost tulisan dengan tema bahasan yang berbeda tiap harinya. Gue terinspirasi buat bikin kayak gitu juga, tapi 14 hari aja dulu soalnya takut nggak bisa konsisten wkwk. Maka dari itu gue putusin untuk ngelakuin "14 Days Writing Challenge" dimulai dari tulisan ini. Rencananya selama challenge ini gue mau nulis cerpen, sajak, atau mungkin pikiran gue akan sesuatu apapun itu. Tapi bisa juga diluar dari itu, pokoknya sesuai mood aja lah. Semoga gue bisa konsisten sampai akhir. Semoga. Semoga.

Komentar

Paling banyak dilihat