[14DWC - Day 9] Sfumato
Belum genap seminggu Dian bekerja di unit apartemen kondominium ini. Tapi benih-benih perasaan tidak betah sudah tumbuh dalam dirinya. Bulan lalu perempuan berusia 23 tahun itu mengundurkan diri dari pekerjaannya di rumah majikan lama. Sudah berkali-kali kali dirinya melakukan itu (pengunduran diri) dan semuanya untuk alasan serupa: tidak kuat dengan majikan yang galaknya minta ampun. Tapi setiap kali migrasi ke tempat baru dirinya senantiasa menjumpai tuan nyonya dengan perangai sejenis, termasuk tempat ini. Dirinya mulai berpikir bahwa seluruh majikan di dunia ini berwatak demikian. Sehari sebelum menginjakkan kaki di hunian ini dirinya mendapat sesuatu yang dipandangnya sebagai petuah kala berbincang dengan Mbak Wawa di kantor agen penyalur asisten rumah tangga.
“Kamu mbok ya ojo sitik-sitik minta dipindah,” Mbak Wawa menyedot es jeruk dalam genggamannya, “Majikan kejam iku akeh nang mana-mana. Dadi lakoni wae. Toh kerja kayak kita ngene memang ndak iso dinikmatken. Isone dilakoni.”
Hari-hari awal Dian di sini diwarnai dengan teriakan memaki dari sang nyonya yang perfeksionis. Makanan sedikit lebih asin saja nyonya langsung memasang mata melotot. Jendela sisi dalam kurang bersih sedikit aja nyonya berteriak-teriak dengan suara melengkingnya persis di hadapan muka Dian. Tapi kini dirinya tidak ambil pusing. Begitu kena semprot, senantiasa diingatnya ucapan Mbak Wawa hari itu. Ucapan yang sedikit mengurangi perasaan tidak betah. Dapat dikatakan dirinya berhasil menjalani sejumlah hari dengan mulus, tentu tanpa rasa nikmat sama sekali. Dan dirinya sudah tidak masalah dengan itu. Maka nanti malam dirinya akan membuat makanan yang kadar rasanya sempurna seperti yang ditunjukkan nyonya pagi tadi. Kini dirinya pergunakan waktu sore untuk membersihkan debu kotoran di jendela sisi dalam sebersih-bersihnya.
Sebuah gondola beserta seseorang yang menaikinya mendadak muncul di hadapan Dian yang sedang menyemprot cairan pembersih kaca sekaligus melihat pemandangan di luar sana. Spontan dirinya terperanjat akibat perkara barusan. Lelaki berhelm proyek itu menyaksikan Dian begitu terkejut lantas menempelkan kedua telapak tangan membentuk gestur meminta maaf.
“Saya minta maaf,” lelaki itu tampak cemas, “Saya nggak berniat bikin kamu kaget.”
“I- iya. Nggak apa-apa, kok,” balas Dian ramah.
Dian mulai mengelap jendela sisi dalam dengan telaten. Tidak ingin lagi dirinya dibuat pengang oleh nyonya. Sementara lelaki itu membersihkan sisi luar jendela. Dari rautnya Dian tampak sedikit canggung dengan orang asing di hadapannya. Tapi lelaki itu biasa-biasa saja dan dengan asyik mengelap jendela.
“Semangat ngelap kacanya,” ucap lelaki itu tanpa menatap Dian.
Dian menyeringai tipis seraya terkekeh, “Masnya semangat juga ngelapnya.”
“Lagi libur kerjanya?”
“Mm- Maksudnya?”
“Kok sore-sore gini di apartemen? Emang nggak ke tempat kerja?”
“Ini tempat kerja saya. Saya pembantu di sini.”
Mulut lelaki itu membulat, “Oooh.”
Hari demi hari, pekan demi pekan, bulan demi bulan sudah berlalu. Perjumpaan antara Dian dengan seorang petugas apartemen sore itu merupakan sebuah permulaan menuju persuaan lainnya. Setiap Selasa sore lelaki itu mengelap jendela sisi luar seluruh unit kondominium termasuk milik majikan Dian. Di saat bersamaan Dian ikut bersihkan sisi dalamnya. Dirinya sengaja melakukan itu agar dapat bertemu lantas mengobrol dengan satu-satunya lelaki yang dianggapnya teman di lingkungan ini. Tidak banyak kesempatan bagi dirinya untuk dapat bepergian ke luar unit. Paling hanya dikala bahan makanan habis atau anak-anak tuan nyonya butuh jalan-jalan sore. Maka di toserba dan taman saja dirinya punya waktu bersua kawan-kawan yang seluruhnya merupakan asisten rumah tangga berjenis kelamin perempuan. Dirinya senantiasa bersemangat memiliki teman lelaki. Menurutnya cara pandang segala sesuatu akan lebih kaya apabila bergaul dengan kaum jantan.
Dari sekian banyak obrolan yang sudah dilewati dengan lelaki itu, Dian mengetahui cukup banyak hal tentangnya. Mulai dari namanya yaitu Fajar, kota tempat kampung halamannya, profesi apa saja yang sudah pernah dicicipinya di kota ini, jadwal pekerjaannya selama seminggu penuh, genre musik kegemarannya, hidangan makanan favoritnya, acara televisi yang kerap dirinya tonton, sampai nomor telepon WhatsApp miliknya.
Dian melihat Fajar sebagai sosok yang perhatian, seru, dan tampak begitu menikmati hidup. Di balik itu semua Dian mengagumi ketampanan Fajar. Tentu tidak setampan Tao Ming Tse, Justin Beiber, Suga BTS, atau salah satu artis kenamaan kota ini yang turut menghuni salah satu unit apartemen kondominium ini. Di mata Dian tampannya sederhana, tapi tetap saja tampan. Meski begitu dirinya tidak pernah terpikir untuk berpacaran dengan Fajar. Sampai suatu sore di mana mereka berdua sedang membersihkan jendela dari kedua sisi berbeda.
“Dian, gue suka sama lo. Mau nggak jadi pacar gue?” Fajar tetap fokus mengelap jendela sisi luar tanpa menatap Dian.
Dian tersentak, “H- Hah?”
“Itu emang nggak denger apa gimana?”
“D- Denger, kok.”
“Gimana?” Fajar beralih menatap Dian, “Kalo iya silakan lambaikan tangan. Kalo nggak boleh pose melet.”
Dian menimbang-nimbang tawaran itu sejenak. Tidak ada alasan bagi dirinya untuk menolak. Fajar begitu baik padanya. Dan seperti yang sudah dikatakan, lelaki itu tampan. Dian berpikir jikalau berpacaran dengan Fajar membuat dirinya menjadi menikmati hari-harinya di tempat seram ini maka tentu tidak boleh dilewatkan. Seraya tersenyum tipis dirinya melambaikan tangan pada Fajar yang berada tepat di hadapannya tapi terpisah oleh kaca jendela.
Hari ini genap seminggu mereka terikat dalam suatu hubungan asmara. Sore tadi Fajar tidak hadir bersama gondolanya di jendela tempat Dian menantikannya. Tidak hanya di unit milik majikannya, di unit lainnya pun lelaki itu absen. Dian menjadi bertanya-tanya di mana keberadaan Fajar lantas timbul rasa khawatir dalam dirinya. Sudah berulang kali dirinya coba mencari tahu lewat pesan WhatsApp. Tapi apa daya hanya centang satu yang tertera di layar.
Malam ini Dian berdiri dekat jendela seraya menatap sisi kota yang terguyur hujan. Pesan WhatApp yang dikirimnya sore tadi masih urung centang dua. Kini dirinya sibuk menahan rindu dan memekarkan kekhawatiran.
*****
Udah hari ke-sembilan aja nihhh.
Komentar
Posting Komentar