Gloomy Edinburgh


Dingin dan sepi. Sebuah kombinasi yang seharusnya bagus, bukan? Sebab perpaduan keduanya dapat mencipta rasa nyaman dan damai bagi sesiapa insan yang merasakannya. Sayangnya tidak untuk saya, setidaknya sepanjang hari ini. Lantai kayu di ruangan apartemen ini ketika ditapaki telapak rasanya seperti ditusuk ratusan jarum saking dinginnya. Di dalam ruangan saja saya harus sampai memakai jaket dan celana panjang yang memiliki bulu tebal pada bagian dalamnya. Tungku api pun kembali bekerja setelah libur musim panas. Langit temaram sejak pagi seolah menjadi pengingat bahwa hari ini adalah satu hari di musim dingin. Pasukan bulir salju berbondong-bondong menerjang permukaan bumi. Perlahan tapi pasti mereka melapisi seluruh permukaan apa saja sesuatu yang ditemuinya: rambu lalu lintas, jalanan, mobil, atap rumah, lapangan basket, kebun, bangku taman, ayunan, kuburan, pagar, topi yang terjatuh dari kepala seorang manula dan dibiarkan terbawa angin menuju semak-semak. Saya menilik salah satu sudut kota ini melalui jendela kamar apartemen dan ini yang saya lihat selain salju:

1. Fasad-fasad bangunan yang tidak pernah gagal membuat saya berdecak kagum bahkan sejak pertama kali datang ke sini,


2. Sosok ibu bersama anak kecil membawa anjing peliharaan mereka berjalan-jalan sore,


3. Pohon pinus buatan manusia lengkap dengan balutan lampu warna-warni tepat di depan kafe di seberang jalan,


4. Kerinduan akan kampung halaman.


Benar sekali, saya melihat kerinduan. Nyaris sudah tiga tahun saya berada di kota ini, pergi meninggalkan rumah sejauh belasan ribu kilometer demi menempuh pendidikan tinggi sembari bekerja paruh waktu untuk mengisi saku. Tiap kali cuaca sedang sejuk-sejuknya yang saya pikirkan hanya rumah beserta ingatan masa kecil ketika cuaca itu muncul: memasak mie instan lalu memakannya bersama keluarga, mendengar ibu membacakan buku dongeng yang diulang-ulang (kami hanya punya sedikit stok buku dongeng), bermain membentuk bayangan dengan bantuan lilin (tiap kali cuaca dingin lalu hujan listrik di rumah nyaris selalu mati), membuat teh hangat lalu berlomba dengan abang dan adik untuk dulu-duluan menyesapnya hingga habis. Kenangan yang membangkitkan nostalgia untuk kemudian perasaan rindu datang sesudahnya.


Sejak menginjakkan kaki di kota ini belum pernah sedetikpun saya mudik ke kampung halaman. Alasan pertama dan paling utama jelas soal biaya. Oleh sebab itu saya mulai lupa ada bunyi apa di desa tempat saya tinggal, ada kisah apa di sana, ada tulisan apa di sana. Saya hanya bisa mengingat bahwa saya rindu kampung halaman beserta keluarga yang terkandung di dalamnya.

Komentar

Paling banyak dilihat