Review Gerpolek: Tulisan Perlawanan dari Balik Penjara
Pernah denger Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville? Kedua perjanjian yang dilakukan antara pihak Indonesia dengan Belanda pasca kemerdekaan itu sering banget ambil bagian di buku IPS–lebih tepatnya sejarah. Kalo nggak tidur pas bapak/ibu guru lagi jelasin di depan kelas, pasti lo sering denger kisah mengenai perjanjian ini. Seringkali narasi yang digaungkan mengenai perjuangan pasca kemerdekaan menyatakan bahwa masyarakat Indonesia sudah lebih cerdas sebab tidak lagi berperang memakai senjata di medan perang tetapi memakai otak di medan perundingan. Masyarakat Indonesia tidak lagi mengandalkan fisik melainkan lebih mengutamakan dialog dan diskusi yang tidak memakan korban luka-luka atau bahkan korban jiwa. Maka dengan itu perjuangan lewat dialog dinilai lebih baik dan efektif dalam melawan penjajah Belanda. Tapi apa benar faktanya begitu?
Gerpolek merupakan akronim dari Gerilya-Politik-Ekonomi sekaligus sebuah judul buku yang ditulis oleh Tan Malaka saat mendekam di Rumah Penjara Madiun pada Mei 1948. Beliau masuk penjara disebabkan melakukan perlawanan yang konsisten terhadap pemerintah Indonesia dianggap olehnya terlalu lembek dan terlalu banyak berkompromi dengan penjajah Belanda. Organisasi Persatuan Perjuangan yang didirikannya pun difitnah bakal mengkudeta Soekarno-Hatta dari kursi kepresidenan. Referensi bacaan lain mengenai Tan Malaka bisa lo klik di sini.
Buku yang terdiri dari lima belas bab ini secara garis besar berisi berbagai pemikiran Tan Malaka mengenai perjuangan rakyat Indonesia yang di masa itu dianggapnya mengalami kemunduran. Pada bab pertama sang penulis membagi Indonesia menjadi dua musim revolusi, yaitu musim jaya bertempur (berjuang tanpa mengenal kompromi melawan Belanda meski harus mengangkat senjata) yang terjadi pada 17 Agustus 1945–17 Maret 1946 ketika para pemimpin Persatuan Perjuangan (termasuk Tan Malaka) ditangkap dan musim runtuh berdiplomasi (berjuang lewat dialog dan melakukan berbagai perjanjian) yang terjadi setelahnya. Tan Malaka menganggap musim runtuh diplomasi telah mencederai perjuangan yang dilakukan pada musim jaya bertempur. Sebab berbagai perundingan dan perjanjian yang dibuat Indonesia dan penjajah Belanda mengakibatkan pemerintah Indonesia terlalu banyak berkompromi dengan para penjajah sehingga mereka (para penjajah) punya ruang untuk membuat perjanjian dengan kesepakatan yang menguntungkan bagi pihaknya dan di sisi lain merugikan pihak Indonesia.
Syahdan, kita bisa lihat bahwa poin-poin hasil kesepakatan pada Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville membuat penjajah Belanda dapat leluasa berada di tanah air dan dalam banyak aspek kehidupan negara Indonesia menjadi terbatas. Salah satu contohnya pada Perjanjian Linggarjati disebut bahwa Belanda dan Indonesia akan membentuk Uni Belanda-Indonesia (negara persemakmuran) dengan Ratu Belanda sebagai pemimpin. Dari bunyinya dapat disimpulkan bahwa Indonesia akan dijadikan negara boneka oleh Belanda. Segala sesuatu yang menyangkut politik, ekonomi, dan bidang lainnya harus atas persetujuan Ratu Belanda. Maka dengan begitu proklamasi, dasar negara yang dibentuk, dan adanya presiden-wakil presiden berubah sia-sia. Contoh lain pada Perjanjian Renville di mana salah satu kesepakatannya menyatakan bahwa wilayah Indonesia yang diakui Belanda hanya Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra. Bahkan wilayah ini lebih mengerucut dibandingkan saat Perjanjian Linggarjati di mana wilayah Indonesia terdiri dari Jawa, Madura, dan Sumatra. Gimana ceritanya Indonesia yang punya wilayah dataran dan lautan yang luas buangettt tiba-tiba disempitin cuma jadi beberapa wilayah aja?
Cara tawar-menawar melalui perundingan itulah yang ditentang oleh Tan Malaka. Sebab dampaknya tidak main-main, yaitu kembali menguatnya pengaruh kekuasaan, politik, dan ekonomi penjajah Belanda di Indonesia. Maka dengan itu Indonesia telah kembali menjadi Hindia-Belanda. Tan Malaka sendiri menyerukan perlawanan dengan cara berjuang (berperang) melawan penjajah Belanda tanpa mengenal kompromi. Perlawanan perang bertujuan agar bangsa Indonesia mendapatkan kemerdekaan 100%. Makna kemerdekaan 100% di sini adalah bangsa Indonesia menentukan nasibnya sendiri dan menentukan arah perjalanannya sendiri tanpa campur tangan, kompromi, maupun ketergantungan pihak asing. Wilayah, kedaulatan pemerintahan, politik, perekonomian, ideologi, fasilitas pabrik, bank, kereta api, jalan, kebun, tambang, dll harus dikuasai penuh oleh pihak Indonesia tanpa intervensi pihak asing. Maka dengan pemahaman itu, cara tawar-menawar (perundingan) menurut Tan Malaka menurunkan presentasi kemerdekaan Indonesia menjadi di bawah 10% dan sesuatu itu tidak sepatutnya terjadi.
Syahdan, Tan Malaka melalui buku ini berusaha mempengaruhi pemikiran rakyat (terutama kaum muda) untuk senantiasa melakukan perjuangan dengan cara melawan meskipun harus mengangkat senjata, berperang untuk waktu yang lama, atau bahkan gugur di medan perang. Pada bagian lain di buku ini dipaparkan dengan detail mengenai esensi dari gerpolek, perang di Indonesia pra dan pasca kemerdekaan melawan berbagai pihak penjajah, pokok-pokok tindakan dalam berperang, unsur-unsur penting dalam berperang, syarat perang tetap, siasat menyerang dalam perang dan pelaksanaannya, perkara perang rakyat, jenis-jenis perang (termasuk perang gerilya), perang politik-diplomatik, perang ekonomi, UNO (sekarang PBB), dan jenis perang yang secara umum dibagi dua yaitu perang dengan maksud menindas negara lain (perang penindasan) dan perang dengan maksud membela diri atau membebaskan diri dari penindasan (perang kemerdekaan). Indonesia melakukan perang jenis kedua untuk bebas dari belenggu para penjajah (Belanda, Jepang, Inggris, dll). Dalam buku ini Tan Malaka sering memasukkan pemikiran dan siasat mengenai perang dari tokoh-tokoh dunia macam Napoleon, Julius Caesar, Iskandar Zulkarnaen, Hannibal, dll.
Pemikiran Tan Malaka mengenai perlawanan tentu tidak sama dengan pemikiran pemerintahan Indonesia di masa itu. Maka Gerpolek membuka pemikiran gue bahwa selalu ada berbagai sisi dalam setiap kisah atau peristiwa. Seperangkat pemikiran perlawanan tanpa kompromi demi mencapai kemerdekaan 100% yang tidak dicatat dalam buku-buku pembelajaran sejarah di sekolah ini memberikan pandangan baru terkait kondisi Indonesia di masa itu yang ternyata mudah dilobi oleh pihak asing yang pada akhirnya merugikan pihak Indonesia sendiri. Perundingan serta perjanjian yang dihasilkan ternyata tidak membawa perjuangan bangsa ke arah yang lebih baik, malah sebaliknya. Tentu adanya perundingan bukanlah sesuatu yang buruk dan bukan itu pula yang ditentang oleh Tan Malaka. Tetapi sikap mudah dikompromi, tidak tegas dalam bersikap, dan memberikan ruang bagi penjajah Belanda buat melanggengkan kekuasaan mereka di tanah air yang sepatutnya dibinasakan.
Syahdan, Tan Malaka lewat buku ini mencoba mengalirkan semangat perlawanan dengan berjuang sampai titik darah penghabisan menghadapi penjajah Belanda. Agar para penjajah itu tidak dapat celah untuk melakukan kolonialisme-imperialisme lagi di negeri ini dan segera angkat kaki pulang ke negaranya. Semuanya demi mencapai kemerdekaan sesungguhnya bagi bangsa Indonesia. Peperangan memang merupakan sesuatu yang tidak mudah sebab banyak hal bakal dikorbankan. Keluarga, teman, waktu, tenaga, bahkan darah. Tapi seperti kata Ronald Wilson Reagan, Presiden Amerika Serikat ke-40, “Barangsiapa yang ingin damai bersiaplah untuk berperang.” Pemikiran, semangat, serta perjuangan Tan Malaka harus senantiasa diingat serta diterapkan oleh rakyat Indonesia dalam kehidupan bernegara maupun kehidupan sehari-hari. Jangan mau dikompromi! Jangan mau jadi kerdil! Lawan, lawan, lawan, lawan, kawan! Merdeka!
***
Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda
-Tan Malaka
Komentar
Posting Komentar