Review Islam Kita Nggak ke Mana-mana Kok Disuruh Kembali: Gitu Aja Kok Repot
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh para ikhwan dan akhwat sekalian. Dalam rangka menjalani bulan suci ramadan gue milih buat baca buku religi dan pilihan gue jatuh kepada sebuah bacaan berjudul Islam Kita Nggak ke Mana-mana Kok Disuruh Kembali karya Ahmad Khadafi. Berisi lebih dari tiga puluh cerpen yang ngebahas berbagai kisah keseharian tokoh Gus Mut dan orang-orang di sekitarnya seputar keislaman yang sebagian besar relatable sama masalah-masalah kaum muslimin wabil khusus kaum muslimin di Indonesia. Seumur-umur gue ketemu sama buku yang ngebahas agama, cara penyajian topik bahasannya tuh terkesan terlalu serius dan susah dipahami–soalnya pemilihan diksinya tinggi banget. Tapi buku ini tuh mengambil posisi yang berlawanan. Emang apa, sih, yang beda dari buku ini? Gas kita bahas! Oh iya mau disclaimer dulu, di sini gue nggak bakalan ngebahas benar atau salahnya segala kisah, pandangan, dan ajaran yang ada. Ilmu gue belum sampai sana, bre. Gue lebih ngebahas dari sisi cara penyajian dan seberapa urgensi topik dalam cerpen-cerpennya buat moslem society di tanah air.
Dibaca dari judulnya doang, sih, buku ini terkesan provokatif dan berpotensi bikin kaum-kaum tertentu tersinggung. Tapi begitu baca keseluruhan isinya kita bakal mendapati bahwa buku ini begitu damai dengan cerita-cerita yang ringan dan sederhana, baik topik maupun keseharian dan kelakuan para karakter di dalamnya. Berbagai masalah kaum muslimin yang diangkat menjadi topik dekat banget sama kita dan acapkali ditemui di media sosial atau bahkan di lingkungan sekitar. Mulai dari kisah sandal jamaah yang hilang di masjid, ketakutan akan gerakan pemurtadan dari kaum agama lain, pakai dalil buat memenuhi kepentingan pribadi doang, perbedaan pendapat soal hukum merayakan tahun baru masehi, sampai fenomena kaum muslim yang ngafirin muslim lain. Familier, bukan?
Dari semua cerita yang ada gue bisa mengambil dua intisari–bukan intisari minuman. Pertama, bahwa kita harus senantiasa toleransi terhadap pandangan yang berbeda. Bukan cuma kaum muslim dengan kaum dari agama lain, tapi juga antara sesama kaum muslimin yang punya perbedaan pendapat dalam sejumlah hal. Jangan sampai kita gampang tersulut emosi atau bahkan ngafir-ngafirin orang lain cuma gara-gara perbedaan pandangan dengan ajaran agama lain dan ajaran agama islam dari mazhab atau paham lain. Perlu sama-sama kita ingat lagi bahwa dalam hablum minannas hendaknya memanusiakan manusia. Toh, kalo perlu ngingetin sesuatu ke orang yang salah ada pilihan buat pakai cara yang lembut dan sopan. Dengan begitu hidup jadi damai, rukun, dan tentunya berkah.
Kedua, bahwa pencarian seseorang terhadap Allah SWT berbeda-beda. Triggernya, cara belajar ajaran-Nya, dan sama siapa dia belajar beda semua. Maka kita nggak boleh nge-judge orang yang masih berbuat banyak dosa tidak pantas berbuat baik ke sesama atau datang di suatu pengajian. Siapa tahu itu bentuk pencarian buat orang-orang pemabuk, penipu, copet, begal, dan makhluk sejenisnya buat kembali ke ajaran islam. Dan lamanya pencarian, tentu tiap orang beda-beda. Ada yang secepat kilat dan ada yang selambat siput. Kepada golongan yang ‘selambat siput’ ini kita juga nggak boleh judge kalo pencariannya main-main. Biarlah golongan itu terus mencari sampai mereka menemukan yang dicari. Lagipula makna hidup kita adalah pencarian, kan? Entah urusan agama atau diluar itu. Kita cuma manusia penuh dosa yang tidak berhak menilai orang lain. Perbaiki diri sendiri aja dulu, ya nggak?
Cerpen-cerpen di sini dikisahkan secara ringan dengan nyelipin humor tipis-tipis dan pilihan kata narasi maupun dialog tokoh tidak terkesan menggurui pembaca. Tokoh-tokoh utama di dalamnya yaitu Gus Mut, Kiai Kholil, Fanshuri, dan Mas Is dikasih watak dan kelakuan yang dekat dengan sikap orang-orang di sekitar kita. Kayak Mas Is yang gampang emosi dan Gus Mut yang sering banget main catur sama ngasih makan ikan beserta nguras kolamnya. Semua itu membentuk suasana sederhana dalam setiap ceritanya tapi tetep ngasih pesan mendalam di waktu bersamaan. Semua tokoh juga nggak dibikin sempurna. Pasti ada aja sikap atau kelakuan kurang bagus dan kelemahan dari tokoh-tokohnya. Sehingga gue jadi lebih tertarik ngikutin perjalanan para karakter di kehidupan sehari-hari yang dipenuhi banyak pertanyaan seputar islam disamping mengambil pelajaran di setiap cerpennya.
Sebetulnya semua cerpen di buku ini bagus-bagus. Tapi gue mau coba share tiga cerpen favorit gue di buku ini berdasarkan penilaian subjektif:
Islam Kita Nggak ke Mana-mana Kok Disuruh Kembali–cerpen yang judulnya dicomot menjadi judul buku ini mengisahkan tokoh Mas Is yang mengajak Gus Mut dan Fanshuri buat ikut aksi bela agama di balai kota setelah dapat kabar bahwa ada orang yang melecehkan islam. Hmm, kayak pernah denger kasus ini di dunia nyata. Tapi kapan dan di mana, ya? Anyway, Mas Is kelihatan marah banget sama orang yang dikabarin menghina islam. Tapi Gus Mut dan Fanshuri terlihat biasa dan tenang-tenang saja mendengar hal itu. Mas Is pun aneh melihat sikap dua tetangganya itu terus bilang kalo umat islam Indonesia harus kembali ke Al Quran dan As Sunnah buat satuin persepsi. Gus Mut pun keheranan, “Lah, memang kita selama ini hidup harus selalu pakai itu.” Gue suka cerpen ini karena ngegambarin banget kondisi masyarakat islam Indonesia secara umum dalam beberapa tahun terakhir. Di mana ada seruan buat bersatu dan kembali ke Al Quran dan As Sunnah. Kalo begitu ceritanya, berarti selama ini kaum-kaum tertentu itu kembalinya ke mana?
Kalau Dia Maha Pengampun Kenapa Harus Ada Neraka?–berkisah soal Fanshuri yang bertanya ke Gus Mut kenapa Allah SWT menciptakan neraka sedangkan dia adalah Maha Pengampun. Sang Gus pun menjawab bahwa kita nggak akan pernah tahu kenikmatan dari segala rahmat yang dikasih Allah SWT kalo nggak ada pembandingnya berupa gambaran kepahitan. Logikanya gini, gimana caranya kita bisa tahu makanan yang dicobain rasanya enak? Soalnya ada pembandingnya yaitu makanan nggak enak. Coba aja nggak ada makanan nggak enak, pasti kita nggak tahu gimana rasa enak itu dan berpotensi jadi hamba yang nggak bersyukur karena nggak tahu gimana rasanya sakit dan susah. Pertanyaan keren. Jawaban simpel tapi ngena banget.
Menghargai Keberagaman Kok Pilih-pilih Masjid?–bercerita tentang Ali yang baru pindah dari ibu kota sedang mencari kamar indekos. Begitu nemuin yang cocok Ali malah nggak jadi ambil itu kamar gara-gara masjid di deket indekos itu terdapat ormas eksklusif. Mereka menganggap diri mereka paling benar, suka menyerang kelompok lain bahkan dari sesama kelompok islam, sampai suka bid’ah-bid’ahin dan ngafir-ngafirin orang. Ali yang merasa dirinya moderat dan menghargai keberagaman sebab udah lama tinggal di kota nggak pengen berdekatan sama orang-orang kayak gitu. Ali yang katanya menghargai keberagaman malah nggak mau bergaul dengan kaum yang berbeda pandangan. Gue suka cerita ini karena banyak terjadi di lingkungan sekitar. Baik di dalam maupun luar konteks ormas agama, sering banget ada orang yang cuma mau bergaul sama yang sefrekuensi doang dan anti duduk bareng sama yang beda pemikiran. Ujung-ujungnya kebentuk dah tuh circle-circle-an. Padahal pemikiran begitu tuh bisa bikin konflik bahkan perpecahan.
Topik dalam setiap cerita yang disajikan berupa pertanyaan dan persoalan sederhana yang terjadi di sekitar kita sehingga terasa deket dan mudah dinikmati. Secara garis besar gue bisa bilang buku ini mengambil sudut pandang pemikiran moderat dengan berusaha mengambil jalan tengah di antara pendapat kaum kiri dan kanan. Which is good karena bisa mengakodomir kedua kaum itu. Dengan mempertemukan mereka di tengah-tengah mungkin banget buat ningkatin rasa toleransi antarkaum (aamiin paling serius) Lagipula nggak perlu lah kita ribut-ribut hanya karena perbedaan pandangan, baik dengan umat agama lain dan khususnya antar golongan dalam umat islam. Toh, selama pandangan itu nggak menyimpang dari ajaran Al Quran dan As Sunnah tentu tidak ada yang salah. Kalo emang ada perbedaan pandangan dan pendapat, mbok ya harus disikapi dengan bijak dengan saling menghargai satu sama lain dan tidak sembarangan berpikir apalagi judge bahwa suatu pandangan lain sudah pasti salah dan sesat. Dengan begitu maka nggak ada lagi pertengkaran antar golongan umat islam. Lantas mereka berhasil memaknai islam dengan sebenar-benarnya sebagai agama pembawa kedamaian bagi sesama. Maka meminjam sebuah kalimat ikonik yang pernah diucapkan almarhum Gus Dur, saya bakal bilang: Gitu aja kok repot^^
Komentar
Posting Komentar