Paragog


Tiga puluh hari sejak kita menulis halaman terakhir sebuah novela,

Apakah kau masih mengingat seluruh–atau mungkin–beberapa alinea?,

Kukatakan agar bagian pamungkas tak dibuat nestapa tetapi kau paksa,

Terpaksa kita menelan realita para penerbit enggan melahirkannya,

Lantas sejilid naskah bernasib mengenaskan di atas meja kerja,

Bersama tulisan berbeda yang harusnya disingkirkan sejak lama,


Kunantikan masa di mana kita perbaiki karya itu sehingga lebih berharga,

Untuk kemudian menyihir penerbit agar segera cetak massal kisah romansa,

Namun kau tak lagi hadir di beranda sambil membawa angsa seperti biasa,

Sore ini kulihat kau berjumpa seorang penulis lain di kedai kopi lantai dua,

Betapa serunya kau berbincang dengannya mengenai agenda menulis bersama,

Seketika kusadari harapan behani naskah dengan kau telah sirna,


Tubuhku benar-benar kehabisan daya untuk melakukan sesuatu apa saja,

Pikiranku penuh sesak oleh para fragmen memori lampau yang mengembara,

Hidangan santap malam tak kusambut gembira, ria, sukacita, atau kata semakna,

Sebab cahaya sang purnama jauh dari berhasil menyinari jiwa yang dilanda lara,

Rinai hujan berkepanjangan menambah syahdu suasana perayaan merana,

Selepasnya, hanya ada sepi, sedu, serta sepasang pipi berlinang air mata.

–LJ, 2024

Komentar

Paling banyak dilihat