お誕生日おめでとう
***
Segera kubergegas menuju pintu keluar begitu turun dari kereta lokal sebagaimana penumpang turun lain lakukan. Lega rasanya dapat terlepas dari lautan manusia berjejalan di dalam wagon kereta. Tubuh ini akhirnya kembali leluasa bergerak usai terhimpit dan terhuyung selama, entahlah, mungkin tiga puluh menit. Aku berencana membeli teh susu kesukaan di otomat pengecer dekat persimpangan pertama arah jalan menuju rumah untuk membinasakan dahaga. Terkadang aku membelinya sewaktu dalam perjalanan pulang kerja seperti ini, terutama bila haus menyerang serupa dengan yang kurasakan sekarang. Sebetulnya banyak otomat pengecer yang dapat kutemui sepanjang jalan dari pintu stasiun ke rumah, bahkan di dalam stasiun ini pun tersedia beberapa. Hanya saja aku selalu membeli teh susu cap rumah peternakan di sana. Sebab teh susu merek itu tidak dapat ditemukan di otomat pengecer lain di sekitar wilayah ini. Minuman itu memang sukar ditemui keberadaannya. Sejauh ini aku hanya pernah menemukannya di tiga tempat salah satunya termasuk di sana. Sementara dua tempat lain berjarak jauh dan tidak searah pula dengan perjalanan kerjaku. Agak repot bila harus pergi ke bandara atau tepi kota untuk sekadar membeli sebotol teh susu.
Ini bukanlah sebuah promosi, namun menurutku teh susu cap rumah peternakan adalah satu-satunya teh susu yang mampu memberi rasa segar di tenggorokan dan nikmat di sekujur mulut sekaligus. Buatku tidak pernah berpaling ke teh susu merek lain. Tehnya tidak terasa artifisial, tetapi murni layaknya seduhan daun teh asli. Kandungan susu berpadu harmonis dengan teh tanpa mencoba saling dominasi, menambah sensasi lembut ketika meminumnya. Tambahan gula di dalam pun tidak sebanyak merek lain sehingga kadar manisnya cukup, setidaknya bagiku. Walau begitu banyak orang berkata kurang manis dan akhirnya lebih memilih merek lain. Mungkin itu sebab teh susu cap rumah peternakan begitu langka. Besi penghalang terbuka seraya kutempelkan kartu pada gerbang tiket lantas pergi dari area stasiun mengambil arah jalan menuju rumah dan, tentunya, otomat pengecer yang terdapat teh susu merek itu.
Cukup lama kutermangu di hadapan otomat pengecer dekat persimpangan pertama, mendapati semua jenis dan merek minuman kemasan berjajar di balik penutup kaca kecuali teh susu cap rumah peternakan. Biasanya minuman itu tidak pernah absen dari sini. Stok minuman itu pun masih banyak sewaktu kumembelinya di tempat sama dua hari lalu. Terbersit dua kementakan dalam pikiran, antara orang-orang telah menyadari bahwa minuman itu terbaik sehingga mereka berbondong-bondong membelinya sampai ludes atau produknya ditarik sebab kedaluwarsa namun belum ada penggantinya. Kubenamkan koin ke lubang bertuliskan “masukkan uang tanda di sini” serta tanda panah ke bawah di atasnya. Tidak ada pilihan tersedia, mau bagaimana lagi. Terpaksa hari ini aku meneguk teh susu berlogo lain yang tidak senikmat teh susu cap rumah peternakan.
Kusambung berjalan kaki mengambil belokan ke kiri, bertolak belakang dengan arah menuju rumah. Hendakku berkunjung ke suatu tempat sebelum pulang. Sebuah toko kue yang berada di kawasan penuh kedai makanan. Semerbak aroma kue masuk dengan sopan ke lubang hidung. Terpajang berbagai variasi kue seperti tart, black forest, lemon, matcha, red velvet, mango, strawberry shortcake, cheese, blueberry yogurt, rainbow, ferrero rocher, confetti, dan peanut butter yang semuanya tampak menggiurkan. Butuh durasi lama menimbang-nimbang kue mana yang akan dibeli sampai pilihan jatuh kepada red velvet berlapis ukuran sedang. Pada setiap lapisannya terisi penuh krim kocok termasuk bagian atasnya di mana krim kocok dibentuk beberapa bulatan kecil dan dipercantik dengan buah ceri yang berkilau. Penjual membubuhkan tulisan “Selamat Ulang Tahun ke-30 Fumiko” di atas kue sesuai permintaanku. Tidak lupa kubeli satu paket lilin kecil warna-warni untuk dipakai nanti.
Kaki-kakiku kembali melangkah, kali ini mengarah ke rumah. Tangan kiriku selain menggenggam tas kerja sekarang ketambahan tas plastik berisi kue lezat. Aku tidak sabar ingin segera sampai di rumah. Menyanyikan lagu ulang tahun diiringi tepuk tangan, menyaksikan Fumiko meniup lilin, lalu menyantap kue ini sebelum makan sushi gulung terbaik di dunia, lantas ditutup dengan memberikannya kado yang tersimpan di tas kerja bersama perlengkapan kerja. Kubeli kado ini dalam perjalanan dari kantor menuju stasiun tadi. Barang ini sudah lama diinginkan Fumiko sehingga kuyakin dia menyukainya, semoga. Kubuka pagar kecil yang terkunci lalu mendorong pintu masuk.
“Aku pulang,” ucapku lantang. Dengan senyum lebar, pastinya.
Fumiko datang menyambut ketika aku sedang menaruh sepatu di rak alas kaki. Perempuan itu menatap lekat-lekat tas plastik yang kubawa. Kuberi tahu padanya tas itu berisi kue ulang tahunnya, walau agaknya dia sudah bisa menerka dari nama toko kue yang tercetak pada pembungkus. Fumiko mengernyitkan kening terheran-heran. Lirikan matanya menyiratkan hawa asing. Aku tidak paham apa yang menurutnya terasa ganjil. Tidak sempat kumenebak sebab dia segera berkata bahwa makanan sudah tersaji di chabudai.
“Kamu bisa duluan ke sana sesudah ganti pakaian,” suruhnya, “Aku mau sambung menyuapi Ken sebentar. Tanggung, sisa sedikit lagi.”
Aku beranjak menuju meja makan dengan pakaian santai. Setibanya di sana tubuhku seketika mematung dengan mulut sedikit menganga. Kudapati belasan, tidak, puluhan teh susu kemasan cap rumah peternakan disusun rapi bersama piring-piring kecil berisi sushi gulung buatan Fumiko. Bibirku merekah perlahan seraya menyadari penyebab kosongnya minuman itu di otomat pengecer dekat perempatan pertama. Kupegang salah satu botolnya sambil terkekeh pelan. Sesaat kemudian kusadari sesuatu yang buatku menyudahi sementara kemesraan dengan minuman itu. Kubuka kue dari dus kemasan, menancap lilin-lilin kecil di sekeliling tulisan ucapan, lantas memantiknya satu persatu. Fumiko datang dengan senyum simpul di wajahnya tepat ketika semua lilin menyala. Ken berada dalam gendongannya.
Kutatap erat Fumiko, “Tadi aku mau membeli minuman teh susu, tapi barangnya tidak ada. Ternyata seseorang memborongnya.”
“Spesial untuk yang sedang ulang tahun,” katanya semangat, “Hari ini kamu bisa minum milk tea itu sepuasnya.”
“Entahlah apa aku yakin bisa menghabiskan semua ini sekaligus,” kutunjuk botol-botol berlabel biru tua itu.
Fumiko tertawa, “Tidak harus habis sekarang, dong. Sisanya, kan, bisa disimpan di kulkas.”
Kugaruk bagian belakang kepala yang tidak gatal, “Betul juga.”
Kusapa Ken yang sedari tadi mesem-mesem lantas kuambilnya dari gendongan sang ibu. Kuajak mereka bernyanyi lagu selamat ulang tahun walau sebetulnya Ken belum bisa bicara. Fumiko menatap aneh ke kue red velvet di hadapannya sewaktu bernyanyi. Momen di mana seharusnya Fumiko membuat permohonan sebelum meniup lilin berganti dengan adegan dia pergi ke dapur. Aku dan Ken hanya bisa penasaran perkara sesuatu, entah apa, yang sedang dibuatnya. Dia kembali membawa plastik berisi krim lengkap dengan pipa semprot pada bagian ujung. Ditulisnya sesuatu di atas kue itu.
“Kebiasaan,” ucap Fumiko ketus, “Kenapa hanya ada namaku?”
“Masak, tulis nama sendiri di kue yang dibeli sendiri? Aku bukan orang narsis.”
“Aku bosan mendengar alasanmu yang itu-itu saja sejak tahun kemarin,” tutur Fumiko seraya tetap serius menulis, “Mau tidak mau ini hari ulang tahunmu juga.”
Kepalanya menjauh dari kue. Tampak tulisan “ke-33 Kotaro” di bawah tulisan yang dikerjakan penjual kue. Kami memejamkan mata dan membuat permohonan sejenak. Sejuta harapan kuutarakan, untukku, Fumiko, Ken, orang tua, keluarga besar, kerabat, dan kota ini. Begitu khidmat suasana sampai-sampai setetes air mata mengalir di pipi. Fumiko mengajakku meniup lilin bersama usai berdoa. Kugerakkan kedua tangan Ken, membuatnya bertepuk tangan. Fumiko memotong kue dalam potongan kecil, menaruh satu potong ke atas piring kecil, lantas diberikannya padaku. Sepotong lainnya disimpan untuk dia sendiri. Aku dan Fumiko bersama-sama mengangkat potongan kue masing-masing.
“Selamat makan,” ucapku dan Fumiko bersamaan lantas mengunyah kue dengan perasaan bahagia.
Kulihat Ken ingin ikut memakan kue. Kulempar tawa kecil padanya, “Kamu boleh makan ini kalau nanti sudah besar.”
Fumiko turut tertawa gemas.
Komentar
Posting Komentar