Panduan Perjalanan Melintasi Gang Anggrek pada Tanggal Merah

 


Kita sebut saja tokoh utama dalam cerita ini Pak Kumis, sebagaimana penghuni lain di perkampungan padat penduduk di pinggiran kota itu memanggilnya. Walaupun beberapa orang–kebanyakan anak-anak–menyebutnya Kakek Kakek Galak, rasanya lebih elok kita menjulukinya Pak Kumis. Lelaki renta dengan kumis tebal putih itu memang dikenal sebagai tukang mengomel. Sewaktu bocah kampung bermain bola persis di jalan sempit depan rumahnya, misalnya, ia menjewer telinga demi telinga para atlet amatiran itu sampai merah sebab menganggap mereka sengaja menendang bola ke arah tong bekas cat tembok yang sudah terisi penuh sampah sampai isinya berserakan.


Ia juga berteriak memaki penghuni rumah sebelah yang memutar musik dari sound system semalam suntuk di hari pesta pernikahan anak mereka. Orang yang sama pun menggebrak meja di kantor kelurahan lantaran membuatnya mengantre lama sewaktu mendaftar bantuan dana untuk orang kurang mampu. Ia bilang harusnya dibuat tambahan baris antrean yang diperuntukkan bagi lansia agar tidak perlu sakit-sakit menunggu lama. Masih banyak kejadian ia marah-marah yang kalau kita bahas satu-satu tidak akan beres sampai besok. Atas dasar itu banyak orang tidak suka terhadap Pak Kumis, bahkan ada yang sampai ingin memukuli kalau tidak ingat dia hanya lelaki tua renta.


Sehari-hari ia bekerja mengupas bawang merah di pasar yang diupah tiga puluh ribu per karung. Dahulu bisa dapat tiga sampai empat karung, tapi kini kemampuan fisiknya sudah tidak begitu gesit. Sekarang ia hanya mampu mengupas satu karung per hari dan sadar bahwa menjadi tua begitu menyebalkan. Sepulang dari pasar ia memasak untuk makan malam dan tidak lupa menggoreng ikan untuk disantap para kucing liar yang dibawa pulang untuk tinggal di rumahnya. Hanya mereka teman Pak Kumis di rumah. Ia tidak beristri. Dahulu pernah punya, tapi sang kekasih meninggalkannya yang dianggap tidak berguna dan pergi bersama lelaki lain. Semenjak itu ia tak lagi percaya adanya cinta. Ia tidak sempat punya anak. Kakak dan adiknya yang masih hidup tentu tinggal bersama istri dan anak merekanmasing-masing. Mengingat rumah yang sempit dan menjemukan, ia merasa beruntung tinggal sebatang kara. Hanya ada ruangan 3x4 di luar kakus dan dapur kecil. Ruangan itu berganti kegunaan sesuai apa yang pemilik lakukan. Saat makan jadi ruang makan, saat tidur jadil ruang tidur, saat santai jadi ruang tengah, dan saat ada tamu  jadilah ruang tamu.


Pak Ridho dan Deri, keponakannya, ialah dua orang yang rutin bertamu ke sana. Nama pertama biasanya meminta iuran kematian, sedangkan satu lagi datang untuk membujuknya agar mau dimasukkan ke panti jompo. "Nggak usah khawatir soal biaya. Semua aku tanggung," ucap Deri tiap kali mereka bertemu tempo hari. Pak Kumis sudah berulang kali berucap tidak ingin dan tidak akan pernah ingin, tapi Deri terus mendesak sampai ia tidak lagi membukakan pintu untuk pemilik panti asuhan elit di daerah perbukitan itu. Tapi tampaknya pengunjung rutin rumah Pak Kumis ketambahan seorang lagi, ketua RT setempat. Dalam seminggu terakhir sudah tiga kali ia pergi ke sana. Kali pertama untuk memberi bantuan paket sembako dari pengusaha kaya untuk warga kampung, sedangkan dua lainnya sebagai perwakilan warga gang anggrek untuk meminta Pak Kumis berhenti memelihara kucing-kucing jalanan itu. Belakangan ini banyak orang terjangkit virus yang berasal dari kucing liar. Teve dan media sosial tidak pernah absen menyiarkan berita korban meninggal dunia.

"Ini bukan mau saya, Pak Kumis. Saya cuma mewakili warga-warga di sini."


Dahi Pak Kumis mengernyit selagi ia menatap para kucing yang sedang tidur-tiduran di ruang tamu. Ia mengaku sudah hitungan tahun hidup serumah dengan mereka dan tidak pernah terserang penyakit darinya.


“Lagipula ini bukan kucing liar. Mereka kucing peliharaan saya.”


“Maaf, Pak Kumis. Tapi, kan, tetap aja dulunya kucing liar.”


Perjamuan itu berujung dengan pemilik rumah memaki tamu, menyuruhnya segera beranjak keluar, dan membanting kemudian dikuncinya pintu kayu yang sudah kusam. Nasib bagi Pak RT berakhir serupa Deri. Puluhan ketukan yang ia bubuhkan ke pintu rumah Pak Kumis esok harinya dan tidak berbuah apapun. Pada saat yang sama Pak Kumis ada di dalam. Masih terjaga bersama para kucing yang cemas.


Hanya kucing-kucing itu yang Pak Kumis kasihi di dunia ini, setidaknya sejak ibunya wafat. Ia merawat "teman-temannya" itu dengan sepenuh hati, lebih dari sekadar memberi makan dan minum. Ia belikan bak pasir tempat mereka buang hajat, melatih agar mereka terbiasa membuangnya di sana, bergantian mengajak mereka keliling kampung memakai sepeda ontel rapuh, mengelus-elus bulu mereka yang hangat, dan mengajak mereka mengobrol tentang orang-orang menyebalkan yang ia temui. Mereka senantiasa menyimak dengan baik dan merespons dengan mengeong. Dan senang terpancar di raut mereka sewaktu Pak Kumis mengusap-usap kepala berbulu satu per satu. Pak Kumis tidak mengenal kesepian dengan adanya mereka. Pun mereka hidup nyaman bersama Pak Kumis. Kita bisa menyebut ini simbiosis mutualisme.


         Ia tengah bermain bersama kucing-kucing di gang depan rumah sewaktu langit sore sedang teduh-teduhnya. Dilempar oleh Pak Kumis bola kerincing kecil dan sebagian kucing beradu cepat mengambil bola itu. Sebagian lagi memilih menggelepar di aspal atau duduk di pangkuan Pak Kumis. Teduh langit tidak lantas membuat teduh warga Gang Anggrek yang menyaksikan kegiatan Pak Kumis bersama para kucing. Hati mereka terik lantaran apa yang Pak Kumis buat.


Pasutri muda yang membawa bayi cuma menatap geram sembari melintas. Lelaki dengan dua pusaran rambut di kepala melotot dan menggeretak “Apa lihat-lihat, anjing?”. Entah kesal Pak Kumis tidak mau membuang kucingnya atau masih dendam akan kejadian lawas sewaktu Pak Kumis meninju wajah anaknya yang ketika itu masih sekolah dasar sebab sang anak merendahkan lelaki tua itu dengan sebutan “Mandul.” Gerombolan ibu bubaran pengajianlah yang mau repot-repot menegur Pak Kumis untuk melepas kucing itu ke penampungan kucing walaupun berujung sia-sia. Tatapan, makian, imbauan, saran, semua cuma dibalasnya dengan diam.


Mendapati perangai Pak Kumis yang tidak peduli dengan tuntutan warga membuat Manusia Berambut Hitam–lagi-lagi kita sebut saja begitu sebab nama dan sosok aslinya tidak diketahui–tergerak. Ia amati betul satu per satu rupa kucing yang tinggal di rumah Pak Kumis, khususnya segi motif warna bulu. Kemudian ia berburu kucing jalanan yang sekiranya punya motif dan warna mirip peliharaan Pak Kumis untuk digiring ke gang anggrek. Agak bodoh memang mengingat kucing itu mungkin saja menyimpan virus yang sedang menjalar dan bisa menjangkitnya. Dua kali sehari ia siapkan makanan kucing di ujung Gang Anggrek. Walhasil para kucing merasa nikmat dengan kemanjaan yang diberikan. Bahkan tidak cuma makan, mereka hidup di sana. Bermain, tidur, bahkan buang air, baik kecil maupun besar. Sampai-sampai bau tumpukan tinja kucing yang bersandar di pojokan mengusik kenyamanan hidung warga.


“Sebelumnya di gang kita nggak pernah ada kucing! Tapi gara-gara Pak Kumis kucing liar jadi bersarang di sini! Ngotorin gang ini!”


“Pak Kumis tahu nggak sih sekarang lagi ada virus yang asalnya dari kucing liar?”


“Virusnya bisa sampai orang mati! Pak Kumis bisa tanggung jawab nggak kalau udah begitu?”


“Tinggal buang aja susah banget!”


Amarah warga tidak sekadar terlihat dari nada bicara. Kenyataan bahwa mereka ramai-ramai “bertamu” menggeruduk rumah Pak Kumis adalah bukti kesabaran mereka sudah habis. Apalagi ada dua orang di antara kerumunan itu masing-masing mengacungkan golok dan bilah kayu, entah ditujukan menyerang kucing atau pengasuhnya. Pak Kumis hanya tahu keduanya sama-sama tidak ia inginkan. Ia semakin terpojok dengan teriakan-teriakan yang tidak berjeda, bahkan ia sampai tidak punya kesempatan untuk berusaha memberi penjelasan tentang kucing di jalanan yang bukan peliharaannya.


Pak RT datang di waktu yang tepat; sebelum massa mengamuk ke Pak Kumis. Ia berusaha menenangkan massa dan mengajak semua pihak untuk menghadapi situasi ini dengan kepala dingin. Pak Kumis bisa bernapas lega untuk sejenak. Benar-benar sejenak. Sebab Pak RT dan tenaga medis yang datang bersamanya memutuskan untuk mengangkut kucing di Gang Anggrek–termasuk yang ada di rumah Pak Kumis–ke tempat penampungan kucing. Tenaga medis memberi unjuk surat resmi pemerintah tentang relokasi kucing, memasukkan setiap kucing ke kandang besi, membawanya ke mobil di luar gang, memacu mobil menjauh hingga wujudnya tidak lagi terlihat. Semua berlangsung cepat sampai-sampai Pak Kumis tidak sempat mencerna apa yang sedang terjadi. Ia hanya tahu rumahnya sudah sepi dan semakin hampa.


Pak Kumis tetap berkegiatan sebagaimana biasa di tengah kesedihan yang diam-diam ia alami akibat perpisahan dengan kucing-kucing kesayangannya. Ia masih mengupas bawang di pasar, tetap memasak untuk makan malam, dan tidak lupa menaruh ikan di atas piring kecil. Kali ini dengan tulisan ‘Untuk kalian semisal kembali’ dan gambar telapak kaki kucing.


Komentar

Paling banyak dilihat