Ninotores #3
Dalam rangka peringatan hari lahir presiden pertama di negara Republik Rigen, semua tempat hiburan dan edukasi yang biasanya berbayar menjadi gratis selama tiga hari. Taman hiburan, situs peninggalan, pusat sains dan astronomi, rumah hantu, akuarium raksasa, kebun binatang, tempat penyewaan mimpi, dan museum, termasuk Museum Kenangan yang Tidak Pernah Terjadi, tempat di mana Pak Tua berasa sekarang. Sebetulnya ia tidak secara spesifik ingin ke sana. Ia hanya bosan meringkuk di dalam rumah kecilnya dan tidak ingin melewatkan sesuatu yang gratis.
Ia dan rombongan tur memasuki area museum dengan dibimbing pemandu. Sesuai dengan nama museum, koleksi di sana menampilkan sepasang cincin dari pernikahan yang batal karena calon mempelai wanita tertangkap berduaan dengan mantan pacarnya di sebuah kamar hotel. Sang pria kemudian mengirim cincin itu ke museum sebagai pengingat orang banyak bahwa carilah calon pasangan hidup yang benar-benar mencintaimu sepenuhnya.
Koleksi lain tidak kalah mengenaskan. Di dalam etalase kaca berbentuk kubus tersimpan borang pendaftaran kuliah di salah satu universitas ternama di Republik Rigen yang sudah terisi dengan data pemilik tapi urung mengirimnya ke kampus itu karena alasan tidak sanggup membayar biaya kuliah.
“Namanya Isaac Notwen. Bisa dilihat formulir itu adalah pendaftaran mahasiswa baru tahun seribu delapan ratus empat puluh dua. Saat itu belum ada yang namanya beasiswa. Suatu hari presiden Joko Rawna datang ke sini dan terinspirasi dari kisah Isaac lalu memutuskan untuk membuat beasiswa bagi anak-anak kurang mampu.”
Rombongan bergeser ke area lain tempat sepatu lari yang gagal dipakai untuk mengikuti lari maraton oleh pemiliknya karena kakinya patah menjelang acara itu, gitar dari band yang bubar tanpa sempat tampil untuk kali pertama, dan yang paling menarik perhatian Pak Tua yaitu sepasang tiket kereta yang dibeli seorang ibu untuk berwisata ke kota Schweinsteiger bersama anaknya. Sang anak meninggal ditembak oleh polisi yang salah sasaran dalam perjalanan pulang sekolah sehari sebelum tanggal keberangkatan kereta.
Seorang dalam rombongan celingak-celinguk ke sekeliling ruangan museum, “Dilihat-lihat daritadi semua barang-barang yang ada di sini asalnya dari orang biasa ya? Kalau lukisan kan pelukisnya kita tahu beberapa yang terkenal, tapi mereka-mereka ini siapa? Saya baru pernah dengar.”
“Semua koleksi di sini memang berasal dari orang-orang biasa yang mengalami kegagalan sebelum waktunya. Museum ini punya concern bahwa setiap orang perlu diingat dan dikenang, sekalipun kenangannya buruk. Walaupun buruk tetap bisa jadi pembelajaran untuk kita semua, kan,” terang pemandu.
“Walaupun nggak ada AC tapi tetap dingin, ya,” ucap salah satu orang di rombongan yang penampakannya sebelas dua belas dengan Pak Tua. Mungkin umur mereka tidak beda jauh.
“Eh? Oh, iya, iya.”
Pak Tua tersadar dari lamunannya.
Tur museum selesai dan sekarang rombongan berada di area souvenir. Yang lain sibuk mencari dan membeli barang-barang unik yang dijajakan para penjual, sementara Pak Tua hanya duduk menatap lantai. Ia sudah tidak tertarik lagi dengan aktivitas apapun di museum itu. Ia ingin pergi ke suatu tempat lain.
Tempat yang ia harap akan memberi pengalaman yang lebih baik dari museum itu.
Komentar
Posting Komentar