Ninotores #1

 


Pemuda berinisial ASU telah berhasil menerbitkan novel karyanya sendiri, sebut saja Hujan Bulan Agustus, Rembulan Tenggelam di Timbuktu, Perahu Batu, Gadis Filter, Seperti Utang Janji Belum Dibayar Tuntas, dan Bilangan Prima. Dua judul pertama bahkan masuk jajaran buku terlaris dalam sewindu terakhir. Bisa disimpulkan dia adalah sosok penulis muda berbakat, fenomenal, dan sukses. Dari uang royalti novel dia bisa membeli mobil, berlusin-lusin sepatu mahal, rumah bergaya minimalis dekat pusat kota, dan seratus gram emas batang. Dia pun memiliki keluarga yang suportif dan selalu ada sewaktu dia butuh bantuan dan pacar yang cantik, pengertian, serta peduli dengannya. Kehidupannya nyaris sempurna. 


Tapi hidup memang tidak bisa kelewat sempurna.


Dia masih punya masalah yang sejak dulu belum diselesaikan. Lebih tepatnya tidak bisa dibereskan sebab dia tidak tahu caranya. Setiap membuka pintu sewaktu ingin keluar dari toilet sehabis buang air besar, dia tidak keluar di tempat yang sama. Pernah di satu malam dia buang hajat di toilet rumahnya, tapi begitu keluar dia ada di Pantai Waikiki. Satu siang di hari lain dia melakukannya di bilik toilet mall dan begitu pintu dibuka dia melihat Menara Eiffel di depan.


Sepintas itu tidak terlihat sebagai masalah. Bahkan dia bisa kembali ke toilet awal dengan cara membuka kembali pintu di toilet umum pantai dan hotel dekat menara yang membawanya ke sana.  Tapi cerita kejadian berpindah lokasi itu belum sampai ke bagian terburuknya: Dia lebih sering masuk ke tempat yang tidak semestinya dan mendapat kesialan dari sana. Perempuan yang sedang mandi melempar botol sampo ke kepalanya, anggota sekte sesat yang ingin menjadikannya tumbal nyawa sempat membubuhkan sayatan di lengannya sebelum keluar dari sebuah kamar apartemen dan kembali ke rumahnya, rumah yang sedang terbakar siap melalap tubuhnya kalau tidak cepat-cepat buka pintu, dan banyak lagi bahaya lain yang akhirnya membuatnya jarang makan supaya tidak sering buang air besar.


Orang pada umumnya: Makan 3 kali sehari.

Pemuda inisial ASU: Makan 1-2 kali sehari. Seringnya 1 kali.


Selepas menulis selama lebih kurang empat bulan setiap hari, naskah novel terbaru karya inisial ASU berjudul Semua Belalang di Langit sudah rampung dan dikirim ke penerbit. Di malam sebelum meeting bersama editor keesokan paginya, dia tidak bisa tidur meski sudah memaksa matanya memejam. Otaknya tidak bisa berhenti berpikir soal apa saja yang bakal terjadi di meeting besok. 


Dari buku pertama dia memang selalu susah tidur di malam sebelum bertemu dengan editor. Dia takut semisal banyak yang harus direvisi sebab menurutnya revisi berlebih akan menghilangkan nyawa dari karya itu sendiri. Dan biasanya masalah bukan sekadar susah tidur, tapi perut keroncongan. Dia pun membeli seporsi nasi goreng gila, odeng, dan beberapa buah donat cromboloni dan melahap semuanya sampai ludes. 


Di ruangan hanya terdengar suara lembaran majalah yang dibalik-balik oleh inisial ASU dan detak jarum jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan lewat. Sampai muncul suara pintu terbuka bersamaan dengan editor yang datang ke ruangan. 


“Bagian ini repetitif banget.”


“Save the cat moment-nya kurang ngena.”


“Karakter ini kayaknya nggak ngaruh banyak di cerita.”


Sang editor terus saya bicara panjang lebar tentang kekurangan yang masih ada di naskah Semua Belalang di Langit, tapi tidak satupun didengar oleh inisial ASU. Fungsi telinganya kurang optimal gara-gara dia sibuk menahan tahi yang mau keluar dari anusnya. Alih-alih duduk tenang dan menyimak dengan seksama, dia malah menggeliat-menggeliat kecil dalam posisi duduknya. Awalnya dia enggan pergi ke toilet sebab dua soal.


1. Tidak ingin keluar di tempat aneh bin seram

2. Tidak ingin membuat editor menjeda omongan dan menunggunya sepuluh sampai lima belas menit sampai dia selesai dengan urusan di dalam bilik kloset.


Seiring waktu tahinya terasa semakin berada di ujung dan seolah siap keluar detik itu juga. Inisial ASU yang tidak punya pilihan lain terpaksa izin ke editor. Tidak perlu banyak penjelasan soal apa yang terjadi di dalam toilet. Intinya banyak tahi keluar. Saat membuka pintu toilet dan ingin kembali ke ruang meeting, ia tiba-tiba berada di sebuah pulau kecil yang disekelilingnya banyak pohon kelapa. Aturan yang mengharuskan inisial ASU untuk menginjak tempat acak di hadapannya barang satu kaki membuatnya berjalan masuk ke pulau itu. Dia keluar dari semacam gudang tua yang terbuat dari kayu termasuk pintunya. Dia pegang dan buka pintu kayu dengan buru-buru mengingat dia harus sambung pembahasan soal naskah novel terbarunya. Tapi kedua engsel karatan yang mengikat pintu copot dan pintu pun ambruk. Di depannya tidak terlihat toilet di gedung penerbit, tapi tumpukan potongan kayu.


Komentar

Paling banyak dilihat