Review Cerita-Cerita Jakarta: Beginilah Jakarta akan Bercerita Tentang Dirinya
***
Begitu beres baca Menjejal Jakarta gue jadi tertarik buat baca buku yang punya cerita berbau Jakarta lainnya. Pada suatu sore yang damai gue scroll aplikasi jaklitera dan ngedapetin ratusan buku-buku yang tidak menggugah selera membaca, sampai akhirnya Cerita-Cerita Jakarta muncul di tampilan layar. Berbeda dari Menjejal Jakarta yang berisi catatan-catatan jurnalistik yang dibahas secara serius dan ilmiah, buku ini berisi kumpulan cerpen yang kadang serius, kadang berkelakar, dan yang pasti punya aroma imajinatif. Sepuluh cerpen dalam buku ini seluruhnya ngebahas serba-serbi kehidupan di Jakarta, baik pesisir maupun tengah kota, baik perkampungan maupun gedung tinggi, baik kaum proletar maupun borjuis, baik sedih maupun senang, baik tegang maupun tenang, baik sunyi maupun hiruk-pikuk di dalamnya.
Setiap cerpen di Cerita-Cerita Jakarta ditulis sama orang yang beda. Dengan kata lain ada sepuluh penulis berbeda dalam buku ini. Hal ini menarik karena dengan sosok penulis yang berbeda tiap ceritanya bakal ngasih kita gaya penceritaan–termasuk di dalamnya konstruksi cerita, cara pikir, serta pemilihan diksi–yang beragam. Demikian pula dengan tema tiap cerpen yang dijajakan dan sudut pandang (POV) pada setiap cerpen. Semuanya bikin buku ini jadi nggak ngebosenin dan mungkin banget dibaca sekali duduk.
B217AN oleh Ratri Ninditya–bercerita tentang tokoh Aku yang besok akan menikah dengan pria bule sedang pergi naik motor sama mantan teman kencannya menyusuri perkampungan di pesisir Jakarta buat ke sebuah warung seafood. Gue suka sama cerita ini soalnya ngasih gambaran suasana perkampungan Jakarta yang sederhana dengan detail, nyata, dan terasa dekat dengan siapa saja yang pernah singgah di dalamnya. Sungai keruh, ibu-ibu menjemur pakaian, gang-gang sempit, suara orang mengaji dari toa masjid, jalanan becek dan berlumpur, orang yang menggendong anaknya di depan rumah, keramaian di warung makan, suara orang bernyanyi, dan sebagainya. Bagian akhir cerita yang digambarin melalui metafora tokoh Aku berhasil menegaskan sesuatu yang ingin disampaikannya bahwa tidak mudah bagi dirinya untuk melupakan kisah masa lalu dan ingin terus berada di dalamnya.
Aroma Terasi oleh Hanna Fransisca–bercerita tentang wanita keturunan tionghoa yang mengalami berbagai kesulitan saat mengurus paspor di kantor imigrasi. Wanita itu harus menyewa calo untuk mempermudah urusannya yang ternyata ujung-ujungnya tetap rumit juga karena berbagai aturan ini dan itu. Termasuk aturan penggunaan celana panjang bagi para warga yang ingin membuat paspor. Wanita itu yang saat itu memakai celana pendek pun panik. Sebab dia harus berpacu dengan waktu. Tidak akan sempat jika pergi ke toko pakaian dulu baru balik ke kantor imigrasi karena kantor bakal tutup lebih cepat lantaran sedang bulan puasa. Maka dengan terburu-buru wanita itu mencari-cari wanita lain yang bersedia bertukar celana dengannya untuk sementara. Gue suka cerita ini yang menyajikan fakta bahwa urusan birokrasi di Indonesia–khususnya Jakarta–memang rumit dengan berbagai perangkat aturan dan prosedur yang ada. Selain itu gue juga suka banget sama metafora penggambaran pohon beringin dalam cerita ini.
Masalah oleh Sabda Armandio–menceritakan Yuli dan Gembok, duo pengamen yang biasa menjajakan musiknya di lampu merah di salah satu ruas jalan kota Jakarta bertemu dengan orang tak dikenal di tengah kerusuhan. Gembok menolong seorang temannya yang kesakitan masuk ke mobil orang tak dikenal itu yang bakal membawa si orang sakit ke rumah sakit. Tapi sampai beberapa hari setelahnya Gembok tidak kunjung pulang. Ada banyak yang bikin gue kagum di satu cerita ini. Kemampuan Sabda Armandio dalam membuat sudut pandang cerita, di mana dia (Sabda) bisa berkomunikasi sama tokoh Yuli yang ada di cerita itu. Sang penulis bisa saling ngobrol sama karakter yang ditulisnya dalam cerita. Lalu pesan bahwa jangan pernah mudah percaya sama orang lain–terutama orang asing/nggak dikenal–di Jakarta. Terakhir yaitu unsur humor yang cukup menggelitik dari perilaku Yuli yang menduga bahwa berbagai orang yang ditemuinya adalah intel.
Buyan oleh utiuts–berlatar Jakarta di masa depan ketika wilayah utara dan pusat kota sudah tenggelam dan mobil angkutan umum sudah tidak pakai sopir (autopilot). Tante Nana sedang dalam mobil autopilot yang dipesan lewat aplikasi Kejar–semacam gojek atau grab–dalam perjalanan menuju makam suami tetapi mobil itu berbelok ke arah yang salah dan menuju daerah Jakarta yang tenggelam. Tante Nana yang panik takut tenggelam pun menelepon customer service Kejar yang bilang bahwa mereka akan segera memperbaiki kesalahan sistemnya. Tapi mendekati mobil tenggelam tidak ada tanda-tanda sistemnya sudah benar. Tante Nana pun memaki-maki pihak Kejar dan mengancam bakal ngeviralin perusahaan itu kalo nggak jadi tenggelam, soalnya Tante Nana punya tiga ribu followers di media sosial. Latar suasana dalam menggambarkan kota Jakarta yang berbeda dengan cerita lainnya membuat cerita ini jadi yang paling unik secara ambience. Menurut gue ini cerita paling kekinian di buku ini, soalnya menggambarkan kehidupan masyarakat yang erat dengan media sosial. Akhir-akhir ini banyak banget masyarakat–entah itu orang atau selebgram–yang ngeviralin suatu merek yang dinilai produk/pelayanan yang dikasih kurang maksimal. Ditambah pula kenyataan bahwa kita harus selalu tampil bagus, baik, cantik, menawan di media sosial apapun yang terjadi. Semua demi eksistensi di dunia maya.
Rahasia dari Kramat Tunggak oleh Dewi Kharisma Michellia–menceritakan kisah kehidupan seorang anak bersama ibunya yang kembali bekerja sebagai pelacur di kamar apartemen di daerah Kalibata. Meski udah nggak muda lagi, kemolekan tubuh yang masih terjaga bikin para pria hidung belang tertarik memakai jasanya. Sang ibu bilang alasannya kembali melacur walau udah nggak tinggal di Kramat Tunggak adalah buat melunasi hutang ke rentenir. Pada suatu sarapan di meja makan sang ibu mengaku bahwa uang hasil melonte bukan buat bayar hutang, tapi buat kabur ke luar negeri dalam rangka mencari kehidupan yang lebih nyaman. Sambil menyantap makanan di meja, sang ibu cerita soal mengapa beliau bisa sampai tinggal di Kramat Tunggak, mengapa beliau keukeuh pertahanin janin si anak, di mana ayah si anak, dan mengapa beliau ingin sekali kabur. Cerita ini berhasil ngegambarin sisi gelap pelacuran di Jakarta dengan sangat baik lewat narasi yang ditampilin dan dialog agak kaku antara sang ibu dan si anak.
Anak-Anak Dewasa oleh Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie–bercerita tentang sekelompok lansia yang berencana melakukan aksi bunuh diri di dufan menjelang akhir-akhir taman hiburan itu ditutup permanen. Ziggy is being Ziggy. Cerita aneh (in a good way). Tokoh-tokoh di dalamnya punya nama dan pemikiran yang nggak umum serta kontras satu sama lain. Bahasanya rada muter-muter tapi seru. Sama kayak baca novel-novel karya beliau.
Haji Syiah oleh Ben Sohib–menceritakan sosok Haji Syiah yang sering mengadakan majelis di depan rumahnya dan punya dua anak murid kesayangan yang hobi mabuk yaitu Faruk dan Ketel. Haji Syiah rutin untuk ngasih nasihat pada kedua pemabuk itu untuk perlahan mengurangi jumlah alkohol sampai keduanya tersadar. Mereka mulai mengurangi bahkan ngilangin kebiasaan yang buruk bagi dunia dan akhirat itu. Bahkan mereka memantapkan diri untuk berguru ke pondok. Menurut gue cerita ini adalah cerita paling komedi di buku ini. Di setiap daerah di Jakarta pasti punya sosok engkong-engkong yang cerewet, bijak, dan kelakuannya komikal kayak Haji Syiah.
Matahari Tenggelam di Utara oleh Cyntha Hariadi–berlatar pada tahun kejatuhan orde baru yaitu 1998. Bercerita tentang dua sahabat keturunan tionghoa bernama Tata dan Ace beserta keluarganya masing-masing berusaha survive dari kerusuhan dan penjarahan yang dilakukan masyarakat. Penggambaran dua keluarga berbeda–keluarga Tata sederhana dan Ace kaya mampus–dalam menyikapi masalah cukup baik dalam menggambarkan kesenjangan ekonomi antarkeluarga di Jakarta. Di mana keluarga kaya dengan uang mereka yang bergepok-gepok gampang banget buat selesain masalah. Sementara keluarga sederhana terperangkap, panik, cemas, dan harus cerdik dalam menyelamatkan diri dari kerusuhan. Lebih jauh dari kesenjangan, perasaan dan sikap yang ditunjukkin Tata sepanjang cerita adalah gambaran konkrit kecemburuan sosial dan bagaimana hubungan pertemanan yang telah lama hilang kontak hanya akan dipandang sebagai memori yang tidak perlu-perlu banget buat diingat.
Pengakuan Teater Palsu oleh Afrizal Malna–bercerita tentang sosok aktor teater bernama Frans dengan segala idealisme di dalam kepalanya menganggap seluruh dunia ini–termasuk hidupnya sendiri–adalah panggung pertunjukkan. Dia memilih hidup bergelandang berkat idealisme dan pemikiran ala-ala filsufnya itu. Gue punya beberapa temen yang modelannya kayak Frans alias kalo ngomong si paling bener, si paling filosofis, si paling filsafat. Melihat gelagat Frans sepanjang cerita bikin gue senyum-senyum sendiri teringat temen-temen.
Suatu Hari dalam Kehidupan Seorang Warga Depok yang Pergi ke Jakarta oleh Yusi Avianto Pareanom–menceritakan kisah yang benar-benar persis dengan judulnya. Tokoh Ia pergi ke Jakarta pagi hari menaiki kereta komuter. Begitu sampai ke kedutaan besar Amerika Serikat ia wawancara permohonan visa. Siang hari ia pergi ke bilangan Kuningan menaiki taksi lalu ngobrol ngalor ngidul dengan sang sopir. Begitu sampai ia segera menemui klien buat membahas sebuah proyek. Ia sedang dalam perjalanan pulang naik kereta. Di tengah perjalanan ia menyadari bahwa ia harus datang ke acara musik folk di coffee shop milik temannya di daerah Kemang Timur. Dia turun di Stasiun Kalibata terus naik taksi lagi dan ngobrol ngalor ngidul lagi dengan sopir berbeda menuju Kemang Timur. Di sana ia menonton pertunjukkan lalu mengobrol panjang dengan sang pemilik kedai kopi setelahnya. Waktu yang sudah larut malam mengharuskan ia pulang naik taksi lagi. Dia ngobrol ngalor ngidul dengan sopir taksi yang berbeda lagi tapi dirinya udah capek buat berinteraksi dengan orang lain. Maka ia menjawab seadanya dan sekenanya. Asli, ini tuh kayak kita ngintilin kehidupan orang seharian. Gue ngerasa capek banget abis baca cerita ini, padahal cuma baca loh. Depok dan Jakarta, meskipun dua kota itu bertetangga tapi rasanya melelahkan bila bepergian antar dua kota itu. Ditambah lagi buat aktivitas seharian makin jelas rasa capeknya. Gue sebagai warga Jakarta yang pernah seharian aktivitas di Depok (kebalikan dari cerita ini) pun merasa bahwa cerita ini valid dalam menggambarkan capek.
Dari semua cerita yang ada dalam buku ini, tiga terbaik menurut gue yaitu Aroma Terasi, Masalah, dan Matahari Tenggelam di Utara. Ketiganya punya keresahan yang dekat sama kehidupan gue dan (gue yakin) banyak masyarakat Jakarta lain. Selain itu ketiganya punya makna tersirat terkait kiat-kiat hidup di Jakarta yang berguna banget buat orang yang mau tahu kehidupan sehari-hari masyarakat Jakarta atau orang yang mau merantau ke kota ini. Buku ini bisa jadi kayak semacam buku panduan kehidupan di Jakarta bagi pemula atau buku memoir kehidupan di Jakarta bagi para ekspertis dan mantan penghuninya. Entah panduan atau memoir, Cerita-Cerita Jakarta adalah penggambaran jelas bagaimana kota ini akan bercerita tentang dirinya^^
Komentar
Posting Komentar