Review Khotbah dari Bawah Mimbar: Lebih Sederhana dan Terasa Dekat
Assalamu’alaikum para ikhwan dan akhwat sekalian. Sebelumnya gue udah pernah membahas buku bertema religi berjudul Islam Kita Nggak ke Mana-mana Kok Disuruh Kembali karya Ahmad Khadafi. Kali ini gue mau bahas buku dengan nuansa yang sama, masih dari pengarang yang sama, dan surprisingly isinya pun sama. Bukan plek ketiplek semua kata perkatanya dari halaman satu sampai terakhir. Tetapi konsep isi yang didesain sebagai kumpulan cerita pendek dengan perbincangan seputar berbagai sesuatu yang dekat dengan kita dan beberapa di antaranya ramai dibahas di media sosial. Tokoh-tokohnya pun tidak berbeda dari buku kemarin. Kiai Kholil, Gus Mut, Mas Is, Fanshuri, dan warga kampung lainnya. Simpelnya, ini seri berikutnya dari universe Gus Mut dan kawan-kawan.
Buku ini berisi banyak pengkajian berbeda menyangkut fikih, akidah, akhlak, tasawuf, sampai ilmu kalam yang semuanya menarik untuk disimak. Sejumlah bahasan paling menarik di sini menurut gue yaitu tentang penggunaan hijab, hukum merokok, kebiasaan yang dianggap bid’ah sebagian kalangan, khalifah yang masih jauh untuk terwujud, perbedaan pendapat antarulama, sentimen antarormas Islam, serta penyesuainya menjalankan syariat Islam di kala pandemi. Semua subjek—termasuk di luar yang gue sebutkan tadi—disampaikan dengan cara yang ringan dan yang paling penting, tidak menggurui pembaca. Sesuai judulnya, ‘dari Bawah Mimbar’ yang berarti khotib memposisikan dirinya sejajar dengan jamaahnya lantas menyampaikan dakwah tanpa berjarak sehingga menjadikannya terasa lebih dekat dan personal. Setiap kisahnya disajikan lewat obrolan santai para tokoh di sela-sela melakukan kegiatan sehari-hari dan diselingi pula candaan sesekali.
Cara penyajian semacam itu bikin bahasa yang dipakai buat menjelaskannya tidak kaku sama sekali. Tentu dampaknya bagus, penjelasan yang ada menjadi lebih mudah dipahami oleh orang dengan pemahaman agama yang masih cetek seperti gue. Meskipun beda format, membaca buku ini rasanya serupa dengan menonton Para Pencari Tuhan. Ingat, kan? Itu, loh, sinetron drama religi yang tayang setiap bulan puasa pada jam-jam sahur di kanal SCTV. Menghibur dan menyebarkan ilmu di saat bersamaan bagi para penikmatnya. Begitu menulis bagian ini, gue sedikit penasaran sama acara itu karena sudah sekian lama tidak pernah menontonnya lagi. Lantas gue mencari informasi melalui mbah google dan mendapat fakta bahwa PPT sudah masuk ke jilid tujuh belas. Banyak juga, ya.
Anyway, kembali ke pembahasan buku ini yang tetap mempertahankan ciri khas uniknya yaitu topik pembahasan dengan sentuhan akhir judul yang terkesan provokatif. Judul cerita pendek seperti, Ngapain Salat Kalau Akhirnya Masuk Neraka?, Orang Islam Kok Pelihara Anjing?, Dari Sekian Banyak Sunah Nabi, Kenapa Kamu Hanya Pilih Poligami?, Apa Gunanya Doa kalau Takdir Manusia Sudah Ditentukan?, Untuk Apa Belajar Agama Pakai Akal kalau Ujung Jawabannya Balik ke Iman?, Celakalah Dia yang Tinggalkan Ngaji demi Sesuap Nasi!, dan Menantang Logika Isra Mi’raj tentu berpotensi memicu banyak reaksi baik positif maupun negatif. Walaupun judul-judul di atas memancing, tetapi penjelasannya tidak pernah terasa tendensius dan tetap bijaksana—dalam artian tetap mengikuti kondisi yang ada dan menghargai pandangan lain.
Ada pula judul-judul yang memancing rasa penasaran dan membuat pembaca—setidaknya gue—berpikir sejenak tentang judul yang dibaca, seperti Apa Sopir Bus Boleh Nggak Puasa Ramadan karena Musafir?, Kenapa Babi Haram?, Apakah Surga Hanya untuk Orang Islam Saja?, Benarkah Salaman Usai Salat Itu Bidah?, Sejauh Apa Khilafah yang Diangankan Orang-Orang Itu?, Kok Berhubungan Seks dalam Pernikahan Itu Dihitung Ibadah, Sih?, dan Jika Rambut Itu Aurat, Perempuan yang Gundul Harusnya Boleh Dong Lepas Jilbab?. Gue terus baca lengkap cerita dan pembahasannya sesaat setelah melihat judulnya karena memang membuat jiwa penasaran ini meronta-ronta. Sewaktu beres membacanya semua rasa kepo terbayarkan, pemahaman terluaskan, pun pemikiran tercerahkan. Pemilihan judul serta bahasan yang menjadi pembicaraan oleh banyak masyarakat, tetapi dikemas dengan ringan itulah pada akhirnya menjadi daya tarik utama buku ini.
Namun, ada satu poin catatan yang bikin buku ini berpotensi kurang menarik bagi para pembaca. Banyak sekali cerita pendek dengan situasi adegan dua orang sedang bermain catur. Mungkin penulis bermaksud menggunakan situasi adegan itu sebagai simbolisme ringan dan sederhana. Sebab permainan catur jalanan sering digambarkan dengan para pemainnya yang bertarung sambil membicarakan olahraga, politik, bahkan agama. Tetapi menurut gue pribadi situasi adegan yang hadir di sekitar belasan cerita pendek di buku ini terlalu besar jumlahnya. Lantas tercipta kesan kurang variatif sebagai akibatnya. Padahal gue tidak masalah dengan babak cerita yang sama—satu tokoh melontarkan pendapat kurang tepat atau pertanyaan, lalu tokoh lain memberi penjelasan, lalu tokoh tadi tercerahkan—dari cerpen pertama sampai paling buncit. Tetapi ditambah adanya situasi adegan yang serupa membuatnya terasa monoton, selain terasa sederhana dan dekat.
Terlepas dari catatan di atas, buku ini cocok banget buat para kaum muslimin, terutama mereka yang ingin membaca tulisan serius dengan kemasan tidak serius^^
Komentar
Posting Komentar